Sunday, September 24, 2017

Kisah Suster Penjemput Jenazah



"Suster, mau menjemput jenazah ya?"

Sapaan itu selalu terdengar dari petugas kargo Bandara El Tari, Kupang Nusa Tenggara Timur saat Suster Laurentina, PI, salah satu relawan Sahabat Insan yang saat ini bertugas di Kupang, tiba di sana. Tampaknya petugas tersebut telah hafal karena seringkali suster datang ke tempat tersebut untuk menjemput jenazah TKI asal NTT yang dikirim dari Malaysia. Pemulangan jenazah memang menjadi salah satu pelayanan utama suster bersama Koalisi Peduli Migran NTT karena banyaknya jenazah yang dikirimkan ke daerah ini setiap tahunnya. Tahun ini saja, menurut catatan jaringan tersebut, sudah 94 jenazah yang telah dikirimkan dari Malaysia. Sedangkan menurut BP3TKI, sampai pertengahan bulan September 2017 ini, data jenazah yang mereka terima adalah 51. Perbedaan data yang cukup besar ini disebabkan karena berbagai macam alasan, menyangkut prosedur pemulangan jenazah.


Sebenarnya prosedur  pemulangan jenazah ke tanah air saat ini tidak serumit dulu. Pihak KBRI akan langsung memproses laporan yang masuk jika jenazah tersebut memiliki identitas jelas, nama sebenarnya (bukan nama samaran), surat keterangan dari desa yang menyatakan bahwa jenazah adalah warga desa tersebut, dan siapa yang akan menerima jenazah di kampung. Namun, kebanyakan buruh migran maupun keluarga tidak berani untuk melaporkan secara langsung, karena kurangnya informasi ditambah lagi kondisi mereka yang penuh dengan ketakutan karena pergi merantau secara non-prosedural. Beberapa keluarga korban yang sempat ditemui oleh suster mengatakan bahwa untuk memulangkan jenazah, mereka menggunakan biaya sendiri, bahkan terkadang harus dengan cara berhutang ke PT yang bersangkutan, kemudian keluarga tersebut bersama-sama mengumpulkan iuran untuk membayarnya. Ada juga jenazah yang biaya pemulangannya ditanggung oleh  PT, namun identitas jenazah tidak dituliskan dalam peti, dan hanya mencantumkan nama penerima jenasah saja karena PT yang bersangkutan tidak mau diketahui oleh pemerintah karena khawatir akan diusut jika terjadi masalah dalam kematian korban tersebut. Banyaknya kasus – kasus seperti inilah yang membuat adanya perbedaan antara data administratif dan data di lapangan. Namun demi kemanusiaan, baik jenazah yang berstatus tenaga kerja prosedural maupun non-prosedural tetap dilayani dengan hati yang tulus dan ikhlas oleh Koalisi Peduli Migran NTT dan BP3TKI.

Dalam melaksanakan karya pelayanannya di Kupang, Sr Laurentina, PI menghadapi tantangan dan perjuangan tersendiri. Hampir tiap minggu beliau selalu menerima kabar duka dan mendapatkan permintaan baik dari jaringan koalisi yang ada di NTT maupun dari BP3TKI untuk pergi ke bagian kargo Bandara El-Tari menjemput dan mengantar jenazah jam berapa pun mereka tiba. Untunglah letak bagian kargo Bandara El Tari tidak terlalu jauh dari biara tempat suster bertugas sehingga beliau bisa bertindak dengan sigap. Pernah pada suatu malam suster menerima pemberitahuan bahwa akan ada jenazah yang datang dengan jadwal kedatangan pukul 22.55 WITa sehingga beliau segera berangkat menuju bandara. Namun sampai di sana petugas kargo mengatakan bahwa pesawat mengalami keterlambatan dan baru akan mendarat pukul 00.00. Akhirnya suster pun pulang ke biara dan kembali lagi berangkat menuju bandara pada pukul 23.30 WITa. 


Setelah menerima jenazah dari bagian kargo, suster akan melihat identitas jenazah tersebut. Di provinsi NTT ini, seseorang bisa ditentukan asal sukunya dari nama marganya. Kalau KTP tak dipalsukan, maka keluarga gampang dicari. Bahkan agama jenazah tersebut bisa diidentifikasi berdasarkan nama kota tempat dia berasal. Misalnya jika jenazah berasal dari daerah Kupang, Soe, Rote dan Sumba maka besar kemungkinan ia beragama Kristen Protestan. Sedangkan jika jenazah berasal dari TTU, Belu, Malaka dan dataran Flores, maka kemungkinan besar jenazah beragama Katolik. Identifikasi agama ini digunakan untuk menentukan apakah suster akan menghubungi pastor atau pendeta untuk mendoakan jenazah tersebut. Jika beragama Katolik, maka doa akan dipimpin oleh seorang pastor dan dilakukan baik saat jenazah berada di kargo maupun saat disemayamkan di Rumah Sakit Umum Kupang. Jika jenazah beragama Kristen Protestan, maka pendeta dan teman-teman dari Sinode yang akan berdoa . Jika pastor atau pendeta tidak bisa dihubungi, maka suster akan berdoa sendiri.  




Bagian paling menyedihkan tentu saja mengabarkan dan menyerahkan jenazah kepada keluarga. Bagaimana tidak. Mereka berharap anggota keluarga mereka pergi merantau jauh ke negeri orang agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga besarnya, namun kenyataan yang harus diterima adalah ia harus pulang dalam keadaan tak bernyawa. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, saat harapan untuk masa depan yang lebih baik pupus, dan harus kehilangan anggota keluarga. 




Entah sampai kapan suster akan terus menerima jenazah-jenazah tersebut. Persoalan yang penyelesaiannya bagaikan mengurai benang kusut ditambah lagi dengan budaya lokal yang sudah berjalan bertahun-tahun dan oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan memang tidak mudah untuk diselesaikan dalam sekejap mata. Namun Sr. Laurentina, PI tentu tidak patah semangat untuk terus berkarya. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan di sana. Selain menjemput jenazah, sehari-hari suster juga melakukan kunjungan dan sosialisasi trafiking ke berbagai daerah di NTT, serta mendampingi korban yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis. Semoga segala upaya tersebut dapat menjadi jalan pembuka untuk kehidupan yang lebih baik bagi saudara-saudara kita di NTT.