Friday, December 23, 2016

A safe house in the city

http://sjapc.net/content/safe-house-city

A safe house in the city

The Utama Safe House (USH) is not just a safe house. It is a community that seeks to provide a safe haven for survivors of trafficking and domestic violence, especially those who have no support and are in need of protection. The staff also assist survivors through outreach programmes. USH was initiated by Sahabat Insan, a Jesuit organisation for migrant workers in Indonesia, in collaboration with several other organisations including Pulih (a charity that provides free psychological counselling services) and MiLAP (Partnership for Children and Women Services), and individual women activists.
USH came about as a response to the closure of several institutions that had provided shelters for women in Jakarta. The closure left a void and created a great need for a place where survivors of trafficking and domestic violence could receive support. Many organisations in Jakarta focus on advocacy but few provide a safe house mainly because of high property costs and rents.
Survivors engaged in handicraft as part of trauma healing in the shelterSurvivors engaged in handicraft as part of trauma healing in the shelterIn December 2015, some women activists against trafficking and domestic violence met with Sahabat Insan’s director Fr Ignatius Ismartono SJ to share their concerns regarding the lack of space for trafficking victims. They wanted to start a shelter but had difficulty complying with the documentation required to open such a facility.  Fr Ismartono decided that Sahabat Insan could help by acting as the legal umbrella for USH.
USH opened its doors in January 2016 and has been serving trafficking survivors and conducting public awareness programmes.  Non-government organisations in Jakarta and overseas partners have referred many cases to it.  Interestingly, only a few survivors decide to stay in the safe house. In most cases, their families decide they should go home. They also do not want to make a police report because they are wrongly afraid that the survivors would be held in detention as part of the rehabilitation. They prefer to withdraw and try to forget, which is not only unfair to the survivors and also encourages a sense of impunity in the perpetrators. This is why USH is reaching out to the public, raising awareness in every possible way, such as through movie screenings, youth gatherings and campaigns during car free day events on Sundays in Jakarta.
Volunteerism and networking are a major part of USH’s daily activities. USH provides an opportunity for people between the ages of 19 and 30 to volunteer and a volunteer recruitment drive on social media in January received applications from 140 youths from across Indonesia. Only 60 applicants from Jakarta were selected. They were asked to write a motivation letter and were interviewed by a USH team. In the end, 14, all young women with diverse religious, ethnic and educational backgrounds, were chosen.  Until December, they participate in discussions, service provision and advocacy in USH.  In this way USH doubles as a space where young women have a chance to work with their peers for the marginalised and deprived in society.
In less than a year, USH has built up a strong network with several organisations, such as pro-bono legal aid institutions, institutes providing psychological counselling and anti-trafficking organisations, which facilitate the services it offers especially in sending survivors back to their families. In addition, USH is fortunate to have the support of benefactors who generously offer help and donations in various forms.
Although relatively new, USH has been able to offer real help to survivors, and touch the hearts of survivors and volunteers alike.  It is a place where differences do not matter and young women and victims of abuse can learn from each other.

Thursday, December 22, 2016

Seminar "Perlindungan Dari Kekerasan Bagi Keluarga Buruh Migran"

Hari Kamis, 15 Desember 2016, Sahabat Insan bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), menyelenggarakan seminar ”PERLINDUNGAN ANAK DARI KEKERASAN BAGI KELUARGA MIGRAN”. Seminar ini bertujuan untuk memperhatikan apa saja dampak-dampak yang diderita oleh anak pekerja migran, saat ditinggal bekerja oleh orang tuanya ke negeri orang. Di akhir seminar, dibagikan buku hasil riset mengenai kondisi anak-anak migran di berbagai negara Asia Pasifik, yang dilakukan dibawah koordinasi Romo Benny Juliawan SJ dari Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP).





registrasi peserta

Ketua Umum Sahabat Insan, Romo I. Ismartono,SJ dalam kata sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para pejabat, para narasumber dan seluruh peserta yang hadir. Berlatar belakang dari Hari Buruh Migran Internasional pada tanggal 18 Desember dan Hari Ibu Indonesia tanggal 22 Desember merupakan kesempatan yang baik untuk mencermati bagaimana anak dari keluarga migran dilindungi dari kekerasan secara jasmani maupun rohani, karena secara jasmani ibu berada jauh untuk mencari nafkah. Bapak Ignatius Ismartono menyampaikan kekhawatirannya karena jumlah ibu yang berada jauh dari anaknya semakin besar.  Walaupun sudah banyak pihak yang memberikan solusi atas masalah tersebut, namun masih perlu banyak upaya dari berbagai pihak untuk memikirkan jalan terbaik bagaimana globalisasi yang terjadi saat ini menjadi globalisasi tanpa peminggiran dan globalisasi yang berkeadilan.



Dalam keynote speech-nya, Bapak Dr. Wahyu Hartomo sebagai Sekretaris Menteri (Sesmen) Pada Kementerian PP-PA, mengatakan, membimbing anak-anak yang orang tuanya masih di Indonesia saja, masih banyak permasalahan, apalagi ditinggal atau dibawa ke luar negeri, sehingga permasalahan anak-anak TKI pasti lebih banyak. KPPPA sudah berkiprah dalam hal-hal yang berhubungan dengan anak, yang ditandai dengan adanya Deputi Perlindungan Anak dan Deputi Tumbuh Kembang Anak. Bapak Sesmen mengharapkan dalam seminar ini akan dibahas tentang anak-anak migran di dalam dan di luar negeri, sehingga bisa memberikan input kepada KPPPA bagaimana cara memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak.



Mulai tahun 2016, KPPPA sadar bahwa masalah perempuan dan anak sangat kompleks dan banyak, sehingga membuat sebuah  program unggulan yang melindungi perempuan dan anak, yaitu Three Ends, atau 3-Akhiri, yaitu End Violence Against Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) dan End Barriers To Economic Justice (akhiri kesenjangan akses ekonomi terhadap perempuan). Di dalam negeri sudah dikeluarkan berbagai kebijakan, misalnya membentuk P2TP2A di berbagai kota dan propinsi serta Satgas perlindungan anak untuk melakukan sosialisasi sampai tingkat RT RW. Selain itu juga di beberapa desa dan kabupaten didirikan sekolah ramah anak, sehingga diharapkan berbagai kekerasan terhadap anak di sekolah bisa dikurangi, bahkan diakhiri. Sosialisasi kepada masyarakat juga dilakukan sehingga mereka sadar akan masalah tersebut. Dengan diselenggarakan seminar ini, KPP PA berharap akan masukan dari pemerhati buruh migran sebagai input untuk menyusun program-program ke depan. Bapak Sesmen berharap nantinya semua pihak dapat bersama-sama meningkatkan kesadaran pada masyarakat serta mengurangi kekerasan pada anak migran.



Bapak Sesmen dan Ketua Umum Sahabat Insan kemudian secara resmi membuka seminar tersebut, dan dilanjutkan dengan pembacaan doa serta foto bersama.

           

            

Mengawali seminar, moderator Romo Benny Juliawan SJ mengupas apa yang akan didiskusikan hari ini, dua hal yang seringkali dibicarakan terpisah tapi sangat berdekatan. Yang pertama adalah tentang keluarga migran,  bagaimana konteks migrasi di jaman sekarang ini mengubah cara kita berkeluarga atau mengubah cara mengasuh anak, cara berkumpul sebagai suami istri ibu anak dan anak-anak. Hal kedua bahwa situasi yang baru ini membawa tantangan yang baru, yang seringkali berupa situasi yang kita sendiri tidak sungguh-sungguh paham bagaimana perlindungan terhadap anak harus diusahakan dalam konteks keluarga transnasional. Romo Benny kemudian mempersilahkan kedua narasumber menyampaikan paparannya.

Pembicara pertama adalah Ibu Mustaghfiroh Rahayu, MA. seorang dosen dan peneliti di FISIPOL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan bersama-sama dengan dua rekan lainnya yang kebetulan tidak bisa hadir, yang mengambil tema: “Keluarga dan Pengasuhan Anak Buruh Migran di Temon - Kulon Progo, Yogyakarta.”

Temon merupakan salah satu daerah yang saat ini ekonomi masyarakatnya sedang bergejolak karena sebagian besar wilayahnya menjadi program pemerintah untuk pembangunan bandara baru. 

Penelitian ini terjadi melihat adanya gap/bias dalam kajian-kajian mengenai migrasi terutama di Asia, karena kecenderungan bahwa mereka lebih melihat isu-isu ekonomi, atau malah kepada hal-hal yang lebih spesifik yaitu penelitian individu. Penelitian ini mencoba menjembatani antara kedua hal tersebut, yaitu isu mengenai keluarga dan apa akibatnya terhadap anak-anak. Kulon Progo merupakan daerah dengan jumlah pengiriman TKI terbesar kedua di DI Yogyakarta setelah Bantul. Perubahan gejolak sosial yang sedang terjadi akibat pembangunan bandara juga akan lebih berdampak pada keluarga. Obyek penelitian anak-anak SMP dengan metode kualitatif/wawancara serta wawancara sekunder pada pengasuh, yaitu ayah dan neneknya.

Migrasi adalah salah satu pekerjaan alternatif di saat di tempat asal tidak bisa memberikan mata pencaharian/tidak bisa menyelesaikan masalah sosial. Kadang malah jadi alternatif utama. Berdasar data PODES (Potensi Desa) tahun 2011, jumlah BMI di KP terdiri dari 992 BMI perempuan (61 persen) adan 642 BMI laki-laki (39 persen). Alasan bermigrasi: pertama, kondisi geografis, kedua, kondisi keluarga, yaitu berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan ekonomi dalam satu rumah tangga, dan ketiga, lingkungan sosial, yakni adanya contoh atau praktik migrasi ke luar negeri yang dilakukan oleh tetangga di desa/ dusun lain atau pun oleh anggota keluarga besar. Dalam berbagai kajian migrasi disebutkan bahwa lingkungan sosial ini banyak berpengaruh terhadap jumlah orang yang tertarik melakukan migrasi, karena menular. Orang Indonesia banyak disukai oleh majikan di luar negeri karena karakteristiknya yang penurut dan tidak banyak menuntut. Persoalannya, saat sebuah keluarga harus menentukan siapa yang berangkat untuk bermigrasi, jawabannya adalah perempuan/ibu, karena pekerjaan yang tersedia itu untuk para ibu.

Penelitian terdiri dari 2 hal: keluarga dan pengasuhan. Migrasi ini sebenarnya menggoyang pemahaman kita sebagai keluarga ‘normal’ yang tinggal dalam satu atap atau ada unsur kedekatan fisik. Namun penelitian ini lebih ingin mengetahui bagaimana pemikiran anak-anak dengan definisi keluarga. Sebagian besar jawabannya adalah ayah dan ibu adalah keluarga inti.
   
Bagaimana sebuah keluarga selalu tetap bersatu sebagai keluarga walau berjauhan, adalah teknologi. Mereka saling berkomunikasi untuk pengasuhan jarak jauh. Akibat lain anak jadi manja. Kebutuhan pertama gadget, computer. Dan ibu selalu berusaha memenuhi keinginan anak-anaknya sebagai perwujudan kasih sayang.

Nenek mempunyai peran penting dalam proses pengasuhan, karena menjalankan fungsi sebagai orang ibu. Saat memilih mau diasuh oleh ayah atau nenek, anak-anak tetap memilih untuk diasuh oleh ayahnya. Nenek jadi pilihan bila kedua orang tua mereka bermigrasi.

Dalam banyak kajian internasional terkait para ayah yg menjadi ortu tunggal karena ibunya menjadi buruh migran, para lelaki cenderung terasa ada maskulinitas dia yang terusik. Tetapi di Kulon Progo mereka tidak merasa terusik. Jadi mereka terbiasa memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya tanpa merasa meninggalkan maskulinitasnya. Hal ini disebabkan karena para ayah tersebut tidak hanya berpangku tangan dan tergantung pada income yang dikirim oleh istri, tetapi juga punya penghasilan sendiri, sehingga menggantikan pekerjaan perempuan/istri hanya dipandang sebagai masalah pembagian peran.

Masalah terjadi ketika anak-anak dilatih dari kecil untuk ditekan emosinya dengan jalan tidak menceritakan masalah atau hal-hal buruk yang menimpanya kepada ibu atau orang tuanya yang jauh di negeri orang, dengan alasan orang tuanya sudah lelah, sehingga mereka menjadi pribadi yang tertutup, pendiam dan tidak terbiasa mengeluarkan emosi.

Masalah lainnya adalah, berkurangnya kedekatan emosional antara ibu dan anak. Anak-anak tidak pernah merasa dekat dengan ibunya. Contohnya, saat ibunya pulang kampung, sang anak tetap ingin tidur dengan bapaknya, bukan ibunya.

Presentasi oleh Ibu Mustaghfiroh Rahayu, MA
Dari presentasi tersebut, moderator merangkum bahwa ada 3 masalah yang muncul dalam keluarga migran yaitu::
1.      Pengasuhan jarak jauh
2.      Pengasuhan terjadi dalam lintas generasi
3.     Dalam keluarga transnasional, terjadi pergeseran peran gender, ayah dan ibu bertukar posisi.

Ada 6,5 juta TKI di luar negeri. Dan pasti ada ratusan ribu sampai jutaan keluarga yang terpengaruh atau situasi hidupnya berubah karena proses migrasi. Bagaimana masyarakat, keluarga dan negara dapat melakukan perlindungan terhadap anak-anak transnasional semacam ini, dibahas oleh narasumber selanjutnya, yaitu Bapak Hadi Utomo, Pemerhati Anak, Ketua Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia), Mitra Kerja KPPPA, yang mengambil tema: Konvensi Hak-hak Anak, yang membahas hukum dan kebijakan yang perlu menjadi prioritas saat membahas tentang anak migran, dan satu konvensi yang telah disahkan, yaitu migran workers.

Presentasi oleh Bapak Hadi Utomo
Pertama, Indonesia meratifikasi yang disebut Prof Muladi sebagai induknya HAM Kovenan Ekosob (yang banyak membahas buruh migran) melalui UU no 11 tahun 2005 dan Kovenan Sipol melalui UU no 12 tahun 2005. Dengan meratifikasi ini Indonesia mengambil resiko besar karena harus merombak hak-hak ekonomi, sosial budaya, termasuk di dalamnya hak buruh migran yang sudah tercantum dalam UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 yang harus diubah dan disesuaikan dengan Kovenan.  Turunannya ada di Komisi Hak Anak.

Di Komisi Hak Anak (KHA), terdapat delapan klaster atau kelompok, yaitu:
  1. Langkah-langkah Umum Implementasi
  2. Definisi Anak
  3. Prinsip-prinsip Umum KHA
  4. Hak Sipil dan Kebebasan
  5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif.
  6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
  7. Langkah-langkah Perlindungan Khusus
  8. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya.
Anak migran termasuk dalam kelompok V. Ibu atau bapaknya migran otomatis anaknya terlantar. Ini satu-satunya isu yang dianggap dan harus masuk dalam perlindungan khusus, di luar kluster perlindungan khusus, yang diperuntukkan bagi anak-anak dalam situasi darurat, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang berada dalam situasi eksploitasi (eksploitasi ekonomi, eksploitasi sebagai pengguna atau pengedar narkoba, eksploitasi seksual dan kekerasan seksual termasuk di dalamnya pornografi anak, serta penculikan, perdagangan dan trafiking, dan eksploitasi bentuk lainnya), dan kelompok minoritas dan suku terasing.

Di dalam kelompok V secara spesifik disebutkan bahwa, anak yang tercabut secara temporer dan permanen dari lingkungan keluarganya, harus diberikan perlindungan khusus (special protection and assistance) yang disediakan oleh negara. Kategorinya adalah orang tua yang tidak ada di rumah dalam kurun waktu tertentu, baik di dalam negeri atau luar negeri. Probemnya adalah negara tidak membantu, padahal negara mengambil untung 1 tahun 110 trilyun yang masuk ke keluarga-keluarga migran sehingga negara tidak perlu repot-repot mengentaskan kemiskinan, plus devisa 35 Trilyun yang masuk APBN. Tetapi negara lupa menyatakan bahwa itu bagian dari special protection dan butuh bantuan negara. Bantuannya adalah dia harus mengatakan bahwa anak harus masuk kategori pengasuhan alternatif. Statement ini tidak ada di UU Ketenagakerjaan. Jika ortu bekerja jauh, maka anak harus diselamatkan, diberikan pengasuhan alternatif. Jika diasuh kakek neneknya, maka dibantu untuk konseling.

Tantangan kita ke depan adalah, memasukkan ini dalam UU Perlindungan Anak. Selama ini sudah ada 3 UU yang mengandung undur pengasuhan dan perlindungan anak. Yang pertama UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU ini dinyatakan bahwa jika orang tua berkelakuan buruk sekali, dan dipandang tidak cakap mengasuh, maka hak asuhnya dicabut. Norma hukum dalam UU ini tidak diikuti oleh struktur (siapa yang akan melakukan) dan proses sehingga pasal itu mati. Yang kedua UU nomor 4 tahun 79 tentang Kesejahteraan Anak, yang menyatakan kuasa asuh orang tua dapat dicabut jika diduga melakukan tindakan yang tidak pantas kepada anaknya. Namun norma hukum dan struktur juga tidak jelas.  UU Perlindungan Anak ketiga adalah UU nomor  23 tahun 2002, yang sebagian pasal diamanemen dalam UU nomor 35 tahun 2014 dan UU nomor  17 tahun  2016.  Semua mengatur tentang pengasuhan dan perlindungan yang tidak mengatur special protection and assistance provided by the state. (negara tidak turut serta dalam program perlindungan anak).  Malah disebutkan untuk menghukum orang tua yang melakukan pelanggaran pidana terhadap anak, maka hukuman diperberat 1/3. KHA menghendaki langkah perdata, orang tua dicabut hak asuhnya untuk beberapa waktu tertentu, bukan dihukum. Anak diselamatkan dulu, dan orang tua wajib ikut kursus parenting skills dan konseling untuk menyelamatkan jiwa dan perbaikan diri sampai mampu mengasuh anak dengan baik.

Kekerasan bukan hanya secara fisik dan mental. Ada yang dampaknya lebih dahsyat daripada itu. Pada pendampingan di daerah-daerah TKW di Cianjur, Bandung Barat, Purwakarta, dan Brebes, anak yang bermasalah dengan narkoba dan perilaku menyimpang, 70% berasal dari anak TKW. Jika negara berhasil menghasilkan pemasukan 35 trilyun dari hasil jerih payah, penderitaan batin dan penderitaan fisik orang tua yang bekerja di luar negeri, negara tidak menyatakan program assistant providing dan protection.

Bantuan yang harus dilakukan adalah memasukkan hal-hal dibawah ini dalam UU Perlindungan Anak:
  1. Pengasuhan alternatif dan perlindungan dari kekerasan, penelantaran (terlantar jiwa harus dimasukkan dalam UU. Anak TKW sudah pasti terlantar jiwa), eksploitasi, tersedia parenting, konseling gratis dan mudah diakses.
  2. Tanggung jawab orang tua/pengasuh dalam mengasuh dan melindungi anak dan menghormati padangan dan pendapat anak.   
Saat ini ada kekosongan hukum, tidak ada lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan deteksi dini terhadap anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran di dalam keluarga.

Jika hal tersebut tidak ada, maka anak akan rentan penelantaran (fisik, mental/psikologis, pendidikan, kesehatan), kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi dan trafiking, narkoba/napza serta anak berkonflik dengan hukum.

Kumpulan rindu adalah kecewa. Kumpulan kecewa adalah tidak adanya keterikatan batin antara ibu dan anaknya dan rentan dengan perilaku-perilaku di atas.

Negara harus menjamin pengasuhan alternatif untuk anak-anak yang tercabut secara temporer atau permanen melalui undang-undangnya, dalam bentuk antara lain keluarga asuh, rumah perlindungan sementara, kafalah (satu keluarga mengasuh anak tetangga), foster placement, adopsi, atau panti sebagai alternatif terakhir.

Kita telah mengesahkan UU no nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya), namun UU ini belum masuk dalam UU Ketenagakerjaan, atau harus memiliki undang-undang pekerja migran, dengan memasukkan hak anak atas pengasuhan alternatif.

Substansi/Materi Pokok Konvensi Pekerja Migran
Setiap pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas :
  1. Kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun,
  2. Hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan,
  3. Hak untuk bebas dari perbudakan,
  4. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama,
  5. Hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi,
  6. Hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang,
  7. Hak diperlakukan sama di muka hukum,
  8. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja,
  9. Hak untuk berserikat dan berkumpul,
  10. Hak mendapatkan perawatan kesehatan,
  11. Hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran,
  12. Hak untuk dihormati identitas budayanya,
  13. Hak atas kebebasan bergerak,
  14. Hak membentuk perkumpulan,
  15. Hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya,
  16. Hak untuk transfer pendapatan.
  17. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu :
1)       pekerja lintas batas,
2)       pekerja musiman,
3)       pekerja keliling,
4)      pekerja proyek, dan
5)       pekerja mandiri.

Perlindungan khusus merupakan dampak dari gagal perlindungan anak seperti kekerasan fisik, mental, penelantaran, perlakuan menelantarkan, perlakuan ceroboh, eksploitasi anak, dll.  Rumusan di UU harus dipertajam. Satu lagi, bagian dari kekosongan hukum adalah, anak tidak dijadikan korban saat orang tua berkonflik / bercerai. Mereka harus dinyatakan sebagai korban dan punya hak akses untuk konseling.   

Pemukulan berdampak buruk pada perkembangan jiwa dan kepribadian anak, tetapi dampaknya lebih buruk. Mengabaikan setingkat dengan membentak. Saat ini semua orang memiliki alat untuk mengabaikan, yaitu gadget. Dampak pukulan, bentakan, ancaman, hinaan, makian kepada anak adalah rentan gagal asuh dan gagal didik, serta anak menderita batin.


Rangkuman moderator atas presentasi tersebut adalah:
1.   Pak Hadi memetakan dimana sebenarnya ruang proteksi yang bisa diperbaiki untuk anak-anak migran dan anak yang memiliki keretanan tertentu secara umum. Khususnya anak migran adalah tidak memiliki perhatian dari orang tua. Dan perlindungan dalam konteks negara bentuknya adalah UU. Pak Hadi menunjukkan ada lubang besar yang harus digarap untuk perlindungan khusus anak.


2.   Fenomena yang lebih besar adalah persoalan masyarakat yang sedang berubah, misalnya migrasi, dan ada perubahan lain yang khas untuk negara berkembang seperti Indonesia. Pada diri anak, itu menimbulkan kebutuhan batin tertentu. Apakah peran yang harus dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk meminimalisir resiko dan memberikan perlindungan kepada anak di hadapan kerentanan baru tersebut?  Kita sedang mencari perubahan-perubahan yang sedang kita tanggapi.


Menyudahi diskusi hari tersebut, moderator mengatakan bahwa  kalau boleh memilih, kita ingin kembali ke masa ketika unia masih tenteram, ketika keluarga belum mengalami gonjang ganjing seperti sekarang ini. Namun hal itu tidak mungkin terjadi. Keluarga dan masyarakat kita sedang mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi sangat cepat. Oleh karena itu, bukannya kita mau mempertahankan masa lalu, namun kita mau mencari cara bagaimana kita tidak dilindas oleh perubahan-perubahan ini, agar kita tidak kewalahan menghadapi perubahan. Itu adalah semangat yang kita bangun bersama dalam kesempatan diskusi ini.

Pada kesempatan terakhir, Romo Benny menginformasikan sebuah buku yang telah dibagikan kepada semua peserta pada saat registrasi, yaitu buku hasil kerjasama beberapa lembaga di Asia Pasifik yang melakukan penelitian tentang pola pengasuhan yang terjadi di keluarga-keluarga migran dalam konteks yang berbeda-beda. Ada Indonesia dan Filipina sebagai negara pengirim buruh migran, serta negara Jepang, Taiwan dan Vietnam. Jepang dan Korea adalah negara yang menerima buruh migran, sedangkan Vietnam sebenarnya sama dengan Indonesia sebagai pengirim buruh migran, namun mereka sedang mengalami proses urbanisasi besar-besaran, sehingga banyak keluarga yang mengalami perubahan yang sangat massif. Buku tersebut berbahasa Inggris, karena harus mengakomodir kebutuhan negara-negara tersebut di atas. Tetapi untuk kasus di Indonesia dan Filipina ada terjemahannya, dan bisa dijadikan bahan diskusi lanjutan.