Friday, January 29, 2016

Dilema Para Pekerja Migran Tak Berdokumen Di Malaysia

Diskusi Tematik Jambore Nasional Buruh Migran, Jember.

Masalah  pekerja migran Indonesia di Malaysia yang tidak berdokumen rasanya sudah menjadi masalah klasik selama bertahun-tahun. Faktor kesamaan budaya, kedekatan geografis, kemudahan transportasi serta hubungan persaudaraan menjadi sedikit dari sekian banyak faktor yang menyebabkan jumlah pekerja migran tidak berdokumen ini tidak berkurang dari tahun ke tahun. Belum lagi faktor tradisi turun temurun, seperti yang dialami oleh para pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat, yang telah lama melaksanakan migrasi mandiri ke Malaysia untuk mencari nafkah.

Kesulitan kemudian muncul saat para pekerja tersebut menemui masalah di Malaysia. Menurut Fajar Santoadi dari Tenaganita, LSM yang selama ini mendampingi para TKI bermasalah di Malaysia, ada beberapa tipe pelanggaran hak pekerja yang sering menimpa pekerja di Indonesia di negara tersebut. Jika diurutkan berdasarkan jumlah kasus yang didampinginya selama tahun 2008 - 2013, maka urutan pertama kasus yang sering ditemui adalah gaji yang tidak dibayar, dilanjutkan dengan pemotongan gaji yang tidak sesuai peraturan,  pembatasan kebebasan bergerak dan komunikasi, majikan memegang paspor pekerja, rekrutmen tanpa ada pekerjaan tersedia, menjanjikan gaji dan manfaat lain yang tidak sesuai dengan kenyataan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan diberhentikan dari pekerjaan secara tidak sah.

Selain beresiko mengalami pelanggaran hak pekerja, para TKI juga seringkali harus menghadapi masalah penangkapan/penahanan (kriminalisasi), pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh otoritas (polisi, imigrasi), pemerasan oleh masyarakat (lokal maupun sesama migran dengan cara menyalahgunakan informasi untuk memeras) serta sukarnya menuntut hak secara hukum baik kepada mahkamah sipil maupun mahkamah buruh.

Jika yang mengalami masalah-masalah tersebut di atas adalah pekerja yang berdokumen: ia memiliki paspor dan permit kerja yang masih berlaku, serta nama majikan yang sesuai data yang tertulis dalam permit kerja, maka kesempatan untuk menuntut melalui jalur hukum (mahkamah, pejabat buruh) dapat dilakukan. Namun, para pekerja yang tidak berdokumen sangat rentan menemukan masalah-masalah di atas tanpa solusi. Pekerja tak berdokumen ini meliputi mereka yang: (1) memiliki paspor dan permit kerja yang masih berlaku tetapi majikan bukan yang tertera dalam permit kerja, (2) memiliki paspor yang berlaku tapi tanpa permit kerja, (3) memiliki paspor yang masa berlakunya habis, dan (4) tanpa dokumen perjalanan (paspor) sama sekali. Perlindungan bagi mereka sangat lemah.

Banyaknya pekerja tak berdokumen di Malaysia ini bukan hanya semata-mata kesalahan mereka. Seringkali kondisi tersebut terjadi karena ketidaktahuan pekerja atau minimnya informasi yang mereka dapatkan. Faktor-faktor penyumbang itu di antaranya adalah pemberhentian sepihak dari majikan, kondisi kerja yang buruk (beban kerja, kekerasan, gaji tak dibayar dll), outsourcing/rent seeking company, multilevel employment, masuk secara tidak sah, penipuan oleh perekrut / traficking dan paspor dan dokumen ditahan oleh majikan atau agen.

KBRI Kuala Lumpur Malaysia sendiri, dalam hal ini diwakili oleh Bapak Judha Nugraha (Sekretaris I Konsuler) mengatakan bahwa, idealnya semua manusia/pekerja adalah sederajat tanpa memandang status warga negara, berdokumen /tidak, gender, agama dll. Namun, pelaksanaan di lapangan tentu saja berbeda.  Adanya kesenjangan untuk melaksanakan prinsip Deklarasi HAM, prinsip2 ILO, UU pekerja Malaysia (yang tidak membedakan warga negara atau bukan warga negara) dan kontrak kerja; dengan realitas adanya variasi kondisi pekerja (berdokumen dan tanpa dokumen) dan realitas kontrak kerja yang disriminatif dan memihak majikan, perlu dijembatani oleh para pemerhati buruh migran, mulai dari NGO, paguyuban, komunitas maupun individu.


Peta permasalahan BMI tidak berdokumen di Malaysia adalah adanya push factors di Indonesia dan pull factors di Malaysia yang saling mendukung satu sama lain.   Push Factor tersebut antara lain kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah dan unskill; lamanya penegakan hukum atas kasus pengiriman TKI ilegal; mudahnya melakukan pemalsuan data paspor dan lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga. Sedangkan Pull Factor-nya antara lain permintaan tenaga kerja asing yang tinggi di negara penempatan, lemahnya pengawasan imigrasi di pintu kedatangan, penegakan hukum yang lemah baik untuk majikan maupun untuk pekerja migran ilegal, kemudahan alat transportasi serta kedekatan budaya dan bahasa

Walaupun tidak berdokumen, namun tentu saja KBRI Kuala Lumpur akan tetap memberikan perlindungan kepada warga Indonesia yang sedang menghadapi masalah. Secara umum, langkah penanganan kasus di KBRI Kuala Lumpur adalah:
1. Pengaduan (rescue)
2. Shelter
3. Bantuan Hukum
4. Repatriasi


Menurut Bapak Judha, solusi Komprehensif BMI tidak berdokumen adalah:
- Penciptaan lapangan kerja di Indonesia
- Penegakan hukum
- Penguatan aspek preventif edukasi proses migrasi yang aman
- Penguatan pengawasan arus lalu lintas batas
- Menghindari kebijakan yang menciptakan moral hazard.

Sedangkan menurut BNP2TKI yang diwakili oleh Bapak Dono Prasetyo (Tenaga Profesional), untuk mengatasi masalah banyaknya TKI yang tak berdokumen, khususnya di Malaysia, mau tidak mau para calon TKI harus mencari informasi sebanyak-banyaknya di lembaga terkait dan mengikuti langkah untuk menjadi TKI aman. Selain itu calon TKI wajib mengikuti penyuluhan, mendaftar di Disnaker setempat, dan mengikuti proses seleksi.  Dari pihak pemerintah sendiri perlu membangun kerjasama Asosiasi Advokat Indonesia untuk pendampingan hukum kasus TKI dan memperketat pengawasan proses pelatihan di Balai Latihan Kerja demi meningkatkan kualitas TKI yang dikirim sehingga memperkuat bargaining power TKI.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto, menyampaikan kritiknya atas upaya upaya pemerintah yang menyetujui legalisasi pemerasan terhadap BMI tidak berdokumen melalui program 6P (Iman Resources). Pemerintah juga dianggap melakukan diskriminasi kepada BMI tidak berdokumen ketika mengadukan permasalahannya, dan menjadikan BMI tidak berdokumen menjadi yang paling disalahkan dalam ketegangan politik kawasan. Lemahnya pengawasan kepada agensi-agensi perekrut dan penyalur BMI serta sosialisasi dan diseminasi informasi masih kurang menyebar luas ikut memperparah keadaan. Untuk itu, SBMI memberikan rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu menyusun MoU untuk kelonggaran perbatasan antara Indonesia - Malaysia, memperkuat upaya diplomasi untuk melindungi BMI tidak berdokumen, meningkatkan pelayanan bagi semua WNI tanpa terkecuali/tanpa diskriminasi serta mengakui jaringan BMI dan organisasi BMI.

Terlepas dari semua masalah di atas, Fajar dari Tenaganita memberikan tips praktis untuk para buruh migran tak berdokumen agar tetap terlindungi. Dia menyarankan agar mereka mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang majikan mereka, misalnya kartu nama, foto, alamat rumah,telepon, tempat bekerja dan lain-lain, serta menyimpan slip gaji sebagai bukti pekerjaan, Ini cukup berguna agar jika sewaktu-waktu mereka menemui masalah bisa cepat terdeteksi. Para pekerja juga diharapkan untuk tidak takut untuk melaporkan jika terjadi pelanggaran, serta meminta bantuan pemerintah Indonesia (dalam hal ini KBRI), untuk melakukan negoisasi.

Tuesday, January 19, 2016

Membangun Inisiatif Dari Desa

Dari Jambore Buruh Migran Nasional 2015

Seperti sudah seringkali disebutkan dalam berbagai kesempatan di Jambore ini, bahwa kunci kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran harus dimulai dari ujung tombak pemerintahan, yaitu desa. Desa merupakan pintu pertama yang dilalui oleh warga yang ingin bermigrasi. Dengan adanya perlindungan di pintu pertama ini, diharapkan dapat mengurangi resiko bermigrasi yang sampai hari ini masih sering dialami oleh pekerja migran Indonesia.

Karena latar belakang inilah, maka lahir keinginan untuk membentuk Desa Peduli Buruh Migran, atau yang lebih dikenal dengan Desbumi. Saat ini, Migrant Care telah memiliki 18 desa dampingan yang dijadikan pilot project sebagai Desbumi, yang terdiri dari 6 desa di Jawa Tengah, 6 desa di Jawa Timur, 3 desa di NTB, dan 3 desa di NTT

Desbumi adalah desa yang memberikan perlindungan kepada warganya yang menjadi buruh migran, dengan menyediakan layanan terpadu baik untuk mereka yang akan berangkat, sampai pada mereka yang sudah menjadi purna TKI. Pentingnya Desbumi sebagai bagian bagi perlindungan TKI membuatnya dijadikan salah satu topik diskusi tematik pararel pada hari kedua, dengan tema: Membangun Inisiatif Lokal Melalui Desbumi. Diskusi ini dimoderatori oleh Bapak Mohammad Nur Hasan dari Universitas Jember


Wahyu Cahya Agung , Kepala Desa Kuripan, Kecamatan Watumalang, Kabupaten Wonosobo, dalam kesempatan pertama memaparkan pengalamannya yang selama setahun memimpin desanya yang dijadikan pilot project pelaksanaan Desbumi di Wonosobo, dengan didampingi oleh Yayasan SARI Solo. Seperti diketahui, daerah Cilacap, Banyumas, Wonosobo dan Karang Tunggal merupakan daerah asal TKI dengan angka tertinggi di Jawa Tengah.

Lebih lanjut dikatakan,bahwa untuk menjadikan sebuah desa menjadi Desbumi, ada enam hal yang harus diperhatikan:
  1. Setiap desa harus memiliki pemahaman, pelayanan dokumen, informasi  dan database yang lengkap
  2. Adanya sarana dan prasarana yang menunjang dan memadai, misalnya komputer dan jaringan internet
  3. Adanya layanan online, yaitu Sistem Informasi Desa (SID) berbasis internet dan teknologi yang baik.
  4. Adanya payung hukum. Desa diharapkan memiliki perdes terkait buruh migran
  5. Adanya aktifis yang mau dan mampu berkomitmen dalam pelaksanaannya.
  6. Adanya dukungan sosial dari masyarakat, pemerintah dan semua pihak terkait.
Pelayanan buruh migran melalui Desbumi antara lain meliputi: sosialisasi ke masyarakat, informasi hukum bagi CTKI, membantu CTKI bermasalah, kemudahan pengurusan dokumen, menyediakan database BMI desa, dan melayani pengaduan TKI melalui website desa. Kesungguhan desa ini dalam menjadi desa peduli buruh migran tampak saat kita berkunjung ke websitenya: http://kuripan.desa.id/. Di halaman depan, terpampang dengan jelas Layanan Info, Data dan Pengaduan untuk Buruh Migran.



Dari Lombok Tengah, Ibu Endang Susilowati dari LSM Perkumpulan Panca Karsa (PPK) Mataram selaku lembaga pendamping desbumi di tiga desa di NTT, menerangkan konsep yang ditawarkan oleh desbumi di desa dampingannya yang meliputi:

1. Pendataan
2. Pelayanan Dokumen
3. Pelayanan informasi 
4. Pengaduan
5. Akses Komunikasi
6. Akses Keadilan
7. Pengorganisasian / Jaringan
    Pendidikan Manajemen Remitensi
8. Pendidikan Paralegal
9. Rehabilitasi Korban
10. Sistem Rujukan
11. Standar Pelayanan Minimum
12. Kesepakatan Bersama
13. PERDES Perlindungan TKI

Di salah satu desa dampingan PPK Mataram, yaitu Desa Nyerot, kecamatan Jonggat Lombok Tengah, NTT, persoalan buruh migran ini dimasukkan dalam salah satu Peraturan Desa, Pasal 12:

  1. DESBUMI dapat berperan sebagai pusat informasi, pusat data dan pengaduan kasus yang berkedudukan di Desa Nyerot. 
  2. Dalam menjalankan perannya, DESBUMI berkoordinasi dengan Kepala Desa danpihak-pihak yang terkait. 
  3. Lembaga DESBUMI sebagai pusat informasi wajib mengadakan sosialisasi secara berkala di tingkat dusun.
  4. DESBUMI sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) akandiatur lebih lanjut pada Surat Keputusan Desa.
  5. Untuk keperluan seluruh biaya organisasi bersumber dari dana desa dan lainnya yang tidak mengikat.
Sebagai lembaga pendamping, PPK Mataram juga menyediakan data kondisi negara tujuan dan berapa pekerja yang dibutuhkan di negara tersebut.

Peraturan Desa serupa juga ada di desa Darek sebagai salah satu desa DESBUMI dampingan PPK Mataram. Tercantum dalam Peraturan Desa Darek Pasal 11 sebagai berikut:
  1. Organisasi TKI Desa dapat berperanmembantu calonTKI untuk memperoleh informasi sebelum berangkat.
  2. Organisasi TKI Desa harus membantu mendampingi TKI yang bermasalah dengan berkoordinasi dengan pihak Desa dan pihak lainnya.
  3. Organisasi Desa sebagaimana diatur pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut pada Surat Keputusan Desa,
Menurut PPK Mataram, dampak yang dapat dilihat setelah pelaksanaan DESBUMI adalah:
  1. Dengan adanya Perdes, para calo tidak sebebas dahulu, dokumen lebih tertib, pihak Desa lebih teliti dan bahkan menolak jika ada kejanggalan.
  2. DESBUMI melakukan penelitian terhadap dokumen yang diajukan oleh calo dan mencatatnya, sebelum dokumen dilakukan di tingkat desa. 
  3. Terjadinya komunikasi dan diskusi dalam menganalisa dokumen untuk calon BMI, yang selama ini tidak pernah terjadi. 
  4. Terlibat dalam Musyawarah Desa, sehingga diharapkan mampu mengadvokasi anggaran untuk DESBUMI dan Organisasi TKI, karena adanya Surat Keputusan.
  5. Pemerintah desa memberikan ruang sekretariat DESBUMI di kantor desa.
  6. Sudah ada komitmen secara lisan untuk memberikan anggaran untuk DESBUMI dan Organisasi BMI.

Narasumber selanjutnya, Bapak Mulyadi, Ketua Dewan Pelaksana Harian Yayasan SARI (Social Analysis and Research Institute) Solo, menjelaskan tentang pelaksanaan Desbumi di ke tiga desa dampingannya di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Menurutnya, DESBUMI penting dilakukan dalam konteks:
  1. Mayoritas BMI berasal dari desa yang terpencil, susah aksesnya dan miskin.
  2. Adanya berbagai kesenjangan stratifikasi sosial,ekonomi,poltik, pendidikan dll
  3. Desa memiliki patron yang kuat (Kepala Desa, tokoh masyarakat, agama, politik, ekonomi)
  4. Tinggi tingkat kerentanannya dalam bencana
  5. Potensi konflik sosial dan bencana alam
  6. Politik anggaran dan keterbatasan kewenangan desa
  7. Kesenjangan akses pelayanan di desa
  8. Wilayah jajahan calo,sponsor, swasta pengerah jasa tenaga kerja dan trafickkers
Lebih lanjut Bapak Mulyadi memamparkan, bahwa Desbumi penting sekali untuk dilaksanakan sebagai wujud kepedulian negara untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran, karena:
  1. Mendekatkan pelayanan BMI langsung dari ujungnya (desa),
  2. Memotong migrasi berbiaya tinggi,
  3. Memotong rantai calo/sponsor, swasta/trafiker, dll
  4. Optimalisasi peran dan kewenangan desa,
  5. Mengurangi secara signifikan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak BMI dan anggota keluarganya,
  6. Agar migrasi aman,
  7. Semakin terhubung BMI di negara tujuan dengan keluarga, pemerintah dan komunitas sosial desanya,
  8. Agar ada jaminan dan kepastian pelayanan dan perlindungan BMI di tingkat Desa – Kabupaten. 
Di kabupaten Wonosobo sendiri, sejauh ini hasil yang sudah mulai tampak adalah: adanya layanan TKI yang berbasis internet, pemerintah desa sudah mulai melayani pengaduan kasus, adanya layanan informasi baik berupa leaflet, spanduk, buku dll mengenai persyaratan, prosedur dan dokumen migrasi aman, trafficking,peraturan/kebijakan terkait di kantor desa, adanya petugas aparat desa yang melayani kebutuhan BMI, masuknya pogram pemberdayaan BMI di anggaran dan perencanaan desa, adanya ruangan pelayanan BMI dan sekretariat kelompok BMI Desa, dan tersedianya paralegal terlatih.

Namun, Bapak Mulyadi juga tidak menyangkal bahwa masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi agar pelaksanaan DESBUMI ini berjalan dengan lebih baik, antara lain berjejalnya isu yang masuk ke desa berkaitan dengan implementasi UU Desa, pergantian aparat desa yang kadang membawa kebijakan baru, penguatan kelompok Advokasi BMI untuk perencanaan dan penganggaran, peningkatan kemampuan aparat desa, pelaksanaan integrasi terpadu antar desa, dan tidak sinkronnya pendekatan spasial desa dengan pendekatan sektoral kabupaten - propinsi - pusat.

Setelah pemaparan ketiga pembicara tentang pelaksanaan Desbumi di desa dan daerah dampingannya masing-masing, diskusi ini ditutup dengan analisa pelaksanaan Desbumi dari Bapak Arie Sujito selaku Sosiolog dari UGM / IRE. Beliau menekankan pembahasan kepada topik: "Mendorong Desa Sebagai Subyek Pembangunan" berdasarkan UU Desa No 6/2014 dan Partisipasi Sosial.

Dalam bahasannya, Bapak Arie mengatakan bahwa  semangat yang dibangun dari UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa adalah mendorong terbangunnya desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Regulasi itu memadukan: koreksi atas perlakuan desa masa lalu dan memproyeksi ke masa depan. Konsekuensinya: perspektif, metode, praktik kerja, dan SDM dituntut untuk berubah, bangkit dan mampu mentransformasi modalitas yang dimiliki; dengan memanfaatkan struktur kesempatan ini untuk melakukan pembaharuan desa. Aktor negara (dalam hal ini pemerintah di semua lini) dan masyarakat sipil, serta pelaku-pelaku ekonomi berinteraksi menerjemahkan semangat pembaharuan itu agar lebih bermakna secara praksis, sehingga UU desa mampu mencapai tujuan tersebut.

Sesuai dengan tema yang diusung dalam Jambore ini, salah satu konsep negara hadir adalah, desa harus berperan, karena desa adalah ujung tombak. Desa harus punya kewenangan untuk memiliki posisi strategis dengan dilahirkannya UU Desa nomor 6/2014. Ini merupakan momentum yang baik bagi para pegiat buruh migran untuk memberi perlindungan pada TKI. Kedudukan desa bisa jadi bargaining position buat kecamatan, kabupaten dan propinsi. Jadi yang ditekankan, bagaimana desa bisa punya ruang cukup untuk melindungi pengambilan keputusan strategis lewat musyawarah desa. Maka para buruh migran harus memanfaatkan dengan maksimal untuk menyuarakan kebutuhannya, untuk memastikan bahwa problem BMI harus jadi tanggung jawab kelembagaan, baik itu dalam hal regulasi, budget, dan hal lainnya. Komitmen negara terwujud dalam hal ini.

Desbumi adalah pilar yang menjawab teka teki kekerasan dan resiko yang dihadapi buruh migran. Buruh migran akan dihormati jika mampu mengorganisir diri. Saat ini Pemerintah memberikan dana kepada masing-masing desa sebesar 270 juta rupiah. Dengan dana sebanyak ini, banyak kepala desanya yang bingung untuk untuk membuat program, karena mereka tidak punya cita-cita. Untuk itu, para kades  seharusnya lebih banyak melakukan diskusi, berbincang-bincang dan mencari solusi dengan masing-masing pihak untuk dapat memanfaatkan dana tersebut untuk memaksimalkan pengembangan desa.

Sejarah perubahan di mana pun, kata kuncinya adalah solidaritas. Manfaatkan ruang yang saat ini terbuka lebar di desa dan BMI harus proaktif. Pengalaman berharga yang sudah pernah dialami harus diceritakan agar CTKI bisa berpikir masak-masak, karena menjadi TKI itu adalah pilihan. Aktifis buruh migran harus merebut posisi-posisi strategis di desa agar kepentingan-kepentingan TKI bisa terakomodir dengan baik. Desbumi adalah ujung tombak advokasi di tingkat paling bawah.

Setelah semua narasumber menyajikan materinya, peserta diberi kesempatan untuk bertanya. Beberapa kepala desa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menanyakan, bagaimana jika program yang mereka susun untuk TKI ini tidak bisa terintegrasi dengan program di kecamatan dan kabupaten. Karena, yang terjadi selama ini, persoalan TKI baru boleh dibuatkan aturan pada keadaan yang sudah mendesak. Menanggapi pertanyaan ini, narasumber menjawab bahwa negara saat ini sudah menganut azas desentralisasi, sehingga Perdes seharusnya sudah bisa dibuat tanpa Perda. Seharusnya saat ini para kepala desa yang berhubungan langsung dengan warga bisa lebih peka untuk membuat peraturan desa yang dibutuhkan untuk melayani dan melindungi warganya.

Di sisi lain, para kepala desa juga berterima kasih karena dengan diadakannya Jambore ini, semua perangkat desa lebih terbuka tentang permasalahan yang dihadapi oleh TKI, dan berniat untuk memperbaiki lagi organisasi dan peraturan desa. Lebih lanjut, beliau juga mengatakan bahwa Indonesia ini negara kaya, seharusnya warganya tidak perlu mencari nafkah sampai luar negeri karena di sini harusnya banyak yang bisa dikerjakan. Problem kemiskinan di Indonesia ini adalah mallpraktek kebijakan, bukan krisis energi tapi krisis manajemen energi. Kunci untuk menyelesaikan semua ini adalah kemauan politik. Makanya beliau mendukung BMI agar memiliki forum-forum yang bisa memberikan masukan dan menyuarakan kepentingannya kepada pejabat yang berwenang.