Tuesday, March 31, 2015

Satu Dekade SI: Bersyukur dan Bersukacita

Minggu 15 Maret 2015. Pagi itu tampak kesibukan yang agak lain di halaman Kapel Kolese Kanisius, Menteng - Jakarta. Beberapa orang berkaos merah tampak sibuk membagikan brosur kepada umat yang datang. Terlihat juga sekelompok ibu-ibu berkebaya putih membantu persiapan Misa Minggu yang akan dimulai pukul 07.30.





Hari itu, menurut penanggalan liturgi, adalah hari Minggu Sukacita. Awal doa Gereja hari itu adalah seruan "Laetare" yang artinya "Bersukacitalah" karena Paskah semakin mendekat. Pada hari itu, Sahabat Insan (SI) diberi kesempatan untuk merayakan Misa Minggu di kapel CC. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk memperkenalkan kepedulian SI akan saudara-saudari kita yang tersingkir dan terbuang, sekaligus mengucapkan syukur karena pada tahun ini, genap sepuluh tahun Sahabat Insan melakukan pelayanannya.

Tentang tanggal berapa tepatnya hari ulang tahun SI, sebenarnya belum ditentukan sampai saat ini. Sahabat Insan sendiri didirikan secara resmi pada tanggal 1 Februari 2005, sesuai dengan tanggal yang tertera pada Akta Notaris pendiriannya. Namun, pada tahun ke-5, Sahabat Insan pernah merayakan ulang tahunnya di kapel Kolese Kanisius pada tanggal 14 Februari 2010 karena bertepatan dengan perayaan Imlek pada tahun itu. Pada tahun-tahun lainnya, ulang tahun SI juga tidak pernah dirayakan secara khusus, sehingga sampai saat ini tidak ada tanggal khusus untuk merayakan berdirinya Sahabat Insan ini. 

Sebenarnya, Romo Ismartono yang akan memimpin misa pada hari itu. Namun karena kendala kesehatan, akhirnya misa dipimpin oleh Romo Benny Juliawan, SJ. Dalam kotbahnya, Romo Benny menekankan kembali mengapa hari Minggu ini disebut minggu sukacita. Kita perlu bersukacita  karena sudah melewati separuh masa prapaskah, dan tak lama lagi kita akan merayakan Paskah. Merayakan Paskah berarti merayakan cinta Allah yang tak bersyarat kepada kita, umat-Nya yang lemah ini. Allah yang terlebih dulu mencintai kita. Romo Benny mengutip kembali bacaan Injil pada hari itu, bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal agar dunia tidak binasa (Yoh 3:14-21). Paskah merupakan perwujudan sempurna cinta Allah yang tak terbatas kepada kita.



Romo Benny kemudian melanjutkan, bahwa karena Allah lebih dahulu mencintai kita, maka kita pun harus memberikan cinta kita kepada sesama. Di dunia ini, banyak sekali kesedihan dan kemalangan. Apalagi, di jaman sekarang, saat semua kebutuhan hidup dirasa naik, kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil, pelayanan kesehatan yang belum merata, maka semakin mudah kita jumpai orang-orang yang susah di sekitar kita. Dalam orang-orang inilah Allah menampakkan diri-Nya, pada orang yang miskin dan terbuang. Beranikah kita membalas cinta Allah pada kita?





Itulah yang menjadi kepedulian Sahabat Insan sejak awal berdirinya lembaga ini. Mereka terbentuk dari kerelaan hati para relawan yang dengan sukarela berkumpul untuk bersama-sama menolong yang membutuhkan. Romo Benny kemudian memperkenalkan tim Sahabat Insan yang hadir dalam misa tersebut, yaitu Romo Ismartono, Suster Laurentina, Sr Louise, para pengurus dan relawan yang duduk berkumpul di bangku depan patung Bunda Maria dan juga tim yang memakai kaos merah. Romo Benny juga menjelaskan bahwa awalnya fokus SI adalah menolong korban tsunami. Seiring dengan berjalannya waktu dan  para korban tsunami sudah lebih mandiri, Sahabat Insan mengamati siapa pihak yang saat ini dianggap paling menderita. Buruh migran kemudian dipilih, karena melihat kasus-kasus buruh migran yang semakin meningkat dan banyak yang tidak mendapatkan pertolongan secara layak. Romo Benny kemudian meminta umat untuk melihat brosur yang telah diberikan oleh relawan sebelum misa berlangsung. Di brosur tersebut nampak beberapa orang terbuang yang selama ini menjadi korban dan didampingi oleh Sahabat Insan. Misa kemudian ditutup dengan melantunkan doa melawan perdagangan manusia. 




Setelah misa berakhir, para pendiri, pengurus dan relawan Sahabat Insan kemudian berbaur dengan umat yang ingin tahu lebih lanjut tentang karya-karya Sahabat Insan. Pada umumnya mereka menanyakan program-program yang saat ini sedang dijalankan, siapa yang sedang dibantu, bekerja sama dengan pihak mana saja, atau ingin mengetahui lebih secara lebih lengkap kisah-kisah korban yang ada di brosur. Ada juga beberapa umat menanyakan ke manakah jika ingin memberikan donasi. Romo Ismartono dan para relawan melayani semua pertanyaan tersebut dan mempersilakan umat untuk mengunjungi blog SI untuk memperoleh cerita yang lebih lengkap. Romo juga menegaskan bahwa Sahabat Insan menerima dengan tangan terbuka semua pihak yang ingin bergabung dan bersama-sama membantu yang miskin dan tersingkir. Bentuk partisipasi dalam komunitas ini juga tidak terbatas  dalam bentuk sumbangan dana, namun juga berupa doa, tenaga dan pikiran.




Acara hari itu kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah antara pendiri, pengurus, donatur dan relawan Sahabat Insan di ruang tamu 2 Kolese Kanisius. Selamat ulang tahun Sahabat Insan. Mari melangkah menuju sepuluh tahun selanjutnya.. Semoga akan terus melayani sampai dekade ke-2, ke-3, ke-4 dan seterusnya. Amin.






Berdiskusi tentang ASEAN Economic Community 2015 & Agenda Perlindungan Buruh Migran

19 Maret 2015, Migrant Care menggelar sebuah forum diskusi yang membahas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan agenda perlindungan buruh migran bertempat di Hotel Oria, Menteng, Jakarta Pusat. Dari kalangan pemerintah, lembaga penelitian, instansi pendidikan, komunitas pemerhati buruh migran, dan media massa turut berpartisipasi dalam forum diskusi tersebut.


Forum ini membahas tentang ASEAN yang cenderung kurang mengakomodasi buruh migran yang berada di sektor rumah tangga, perindustrian, perkebunan, perikanan, dan konstruksi dalam AEC 2015. Hal ini tentu memicu aksi protes mengapa buruh migran terkesan menjadi pihak minoritas. Pada kenyataannya, Indonesia menyumbang banyak pasokan tenaga kerja yang terlibat di area tersebut.

Acara tersebut dibuka oleh Analis Kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo. Beliau menyampaikan apresiasinya kepada seluruh peserta dan narasumber yang ikut berpartisipasi. Wahyu Susilo sungguh berharap sumbangan ide dan realisasinya dapat membantu melindungi buruh migran yang berada di luar negeri. Sebagai pembuka, Direktur Kerja Sama Fungsional ASEAN, J.S George Luntu, memaparkan tentang posisi Indonesia dalam melindungi buruh migran di ASEAN. Terkait dengan pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri yang mengacu pada penguatan perlindungan hukum buruh migran yang bersifat non diskriminatif, Kemlu sedang mengupayakan perumusan ASEAN Instrument on the Protection dan Promotion of the Rights of Migrant Workers yang bersifat legally-binding dan non diskriminatif. J.S. George Luntu menyayangkan atas perbedaan pandangan dengan negara ASEAN tentang penggolongan kelompok tenaga kerja tersebut. Seperti yang di ungkapkan oleh Yuyun Wahyuningrum, senior advisor on ASEAN and Human Rights at the Human Rights Working Groups (HRWG), bahwa tujuan dari AEC 2015 adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meminimalkan gaps di kawasan Asia Tenggara, namun dengan adanya isu buruh migran yang tidak menjadi prioritas kerjasama ASEAN maka tujuan dari AEC tidak akan tercapai. Hal itu dinilai karena kurang konsistennya ASEAN atas kebijakan yang dibuat. Sedangkan, Charan Bal, Dosen Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan, mengungkapkan bahwa perlu adanya pemerataan langkah-langkah konkrit negara ASEAN dalam perlindungan buruh migran. Sehingga kesadaran akan ketidaksetaraan kelompok pekerja turut dipikirkan oleh negara negara kawasan ASEAN.

Pada sesi kedua, DR. M. Reza Damanik membuat acara forum lebih santai dengan mengajak narasumber untuk duduk bergabung bersama peserta diskusi yang lain. Cetusan ide maupun tanggapan dari narasumber memicu sumbangan ide dari masyarakat pemerhati buruh migran. Mereka sangat setuju bahwa AEC 2015 adalah momen yang tepat untuk menggerakkan perlindungan buruh migran di kawasan Asia Tenggara. Mereka juga menambah akan adanya peningkatan pelatihan di BLK daerah sehingga nantinya buruh migran siap untuk berjuang di pasar bebas. 

Forum diskusi AEC 2015 ini berlangsung sampai dengan sore hari. Kemudian, pihak Migrant Care membuat ringkasan dari kumpulan ide dari peserta FGD AEC 2015 yang nantinya akan dibagikan lewat email. Di akhir acara, Wahyu Susilo mengungkapkan bahwa forum diskusi ini akan terus di-follow up agar kesetaraan buruh migran dapat tercapai nantinya.






  

Sunday, March 29, 2015

Mengunjungi Ruang Jiwa

Halo Sahabat!

Hari Jumat tanggal 13 Maret yang lalu, Sahabat Insan kembali berkunjung ke ruang rawat jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta. Rentang waktu dengan kunjungan terakhir yang cukup lama membuat kami merasa asing dengan suasana baru yang kami hadapi. Selain lokasinya sudah berpindah sehingga membuat kami bingung, tata letak ruangannya juga berbeda dengan sebelumnya sehingga kami memerlukan penyesuaian diri untuk bergabung dengan para pasien yang ada di sana. Kami kemudian memperhatikan ruangan-ruangan di tempat itu yang terlihat bersih karena masih baru. Ada tiga ruang tidur disitu, yang masing-masing berisi enam ranjang.

Hari itu, tim Sahabat Insan terdiri atas Sr. Murphy, Sr. Louise, Rintan, Tanti dan seorang tamu dari Yogyakarta bernama Desi. Desi adalah  seorang pelajar kelas 2 SMU yang sedang libur sekolah dan ingin mengikuti kegiatan Sahabat Insan dalam mendampingi buruh migran. Saat pertama kali tiba di ruang rawat jiwa, dia merasa takut dan terlihat tegang. Untunglah kami bisa meyakinkannya bahwa keadaan di dalam cukup aman karena ada suster yang berjaga dan kondisi mereka yang akan kita temui tidak terlalu parah. Akhirnya ia bisa masuk dengan tenang. Di dalam, kami disambut hangat oleh para penghuni ruang jiwa dan mulai berkenalan satu persatu. Syukurlah, kunjungan kami kali ini tidak berbarengan dengan kunjungan periodik dokter sehingga kami dapat leluasa mengobrol dengan mereka.      



http://www.deviantart.com/art/Pressure-198584352

Hari itu ada sekitar 20 pasien wanita yang sedang dirawat disana. Hampir dipastikan semua pasien tersebut adalah mantan pekerja migran dari berbagai negara: Malaysia, Taiwan, Hongkong, Dubai dan Arab Saudi. Rentang umur mereka antara 17-50 tahun. Saat kami datang dan membawa makanan kecil, mereka terlihat sangat gembira dan langsung membagi-bagi roti tersebut kepada teman-temannya. Bahkan ada beberapa pasien yang sampai berebut. Untungnya pasien lain berhasil menengahi dan suasana menjadi tenang kembali. Dalam sekejap, makanan kecil yang kami bawa langsung ludes. Ekspresi mereka sangat beragam. Ada yang bertingkah laku seperti orang sehat pada umumnya, ada yang diam saja melihat kami berbincang dengan yang lain, ada yang menyendiri di sudut ruangan, ada yang memonopoli pembicaraan dan mengatur-atur teman-temannya, dan ada juga yang saling berebut memperkenalkan diri pada Suster Murphy. Sosok Suster Murphy yang 'sangat bule' memang menarik perhatian beberapa pasien ruang rawat jiwa tersebut. Bergantian mereka menanyakan negara asal Sr. Murphy, apa tujuannya ke Indonesia, bahkan ada yang bertanya dimana suaminya dan berapa anaknya. Mereka bahkan mencoba berbincang-bincang dengan Suster Murphy dalam bahasa inggris. Sesaat perhatian kami tertuju pada seorang wanita memiliki memar di dahinya. Bekas itu begitu jelas terlihat. Sayangnya ketika kami tanyai, dia tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. 

Berbagai macam tingkah penghuni ruang rawat jiwa ini membuat Desi tertawa. Gadis manis yang terlihat canggung di awal, akhirnya bisa berbaur dan ikut  bercakap-cakap dengan para penghuni ruang jiwa tersebut. Bahkan, salah satu pasien yang terlihat paling muda di situ, kemudian mengajaknya untuk menyanyi bersama. Desi kemudian balik meminta mereka untuk mengajarinya bernyanyi. Dengan antusias, anak muda yang sebelumnya bekerja di Kuala Lumpur itu berjalan menuju kamarnya dan menyalakan radio. Alunan lagu dangdut pun terdengar dan ia pun kemudian bernyanyi dan berjoget. Keempat temannya kemudian mengikuti gerakannya dengan bersemangat. Beberapa orang sempat ditegur oleh suster perawat karena kurang luwes dalam menari. Ada juga yang sudah sangat jago dalam melakukan gerakan tersebut. Mereka mengajak kami bernyanyi bersama saat itu, tapi kami tidak hafal dengan lirik lagu tersebut. Oleh karena itu kami hanya ikut menyemangati mereka. 

Menari dan menyanyi memang salah satu kegiatan yang mereka lakukan untuk sekadar mengusir kejenuhan. Sebagian besar dari mereka memang mengutarakan kebosanannya selama dirawat disitu. Sehari-hari, mereka praktis tidak melakukan kegiatan apa-apa selain makan dan tidur. Minimnya kegiatan membuat mereka didera rasa ingin pulang yang sangat besar. Seorang pasien lain mengisi hari-harinya di situ dengan membaca novel. Dengan bangga ia menunjukkan sebuah novel yang berhasil dia lahap dalam waktu semalam saja. Dia juga mengutarakan keinginannya untuk bisa menulis, karena ia sangat suka menulis, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara menuangkan ide-idenya. Gadis itu berharap kami akan membawa buku atau novel pada kunjungan berikutnya. Beberapa pasien juga mengungkapkan hobi lain mereka, yaitu memasak. Namun sayangnya, mereka dilarang memasak di situ karena bisa menimbulkan bahaya, terutama karena kondisi jiwa mereka yang belum stabil. 

Kami kemudian bertanya pada suster perawat apakah kami diperbolehkan untuk membuat acara kecil ketika kami datang, dan suster mengijinkan. Kegiatan-kegiatan sederhana yang bisa menstimulasi pikiran mereka akan sangat membantu kesembuhan para pasien ini. Kami pun merencanakan untuk membawakan beberapa majalah dan novel untuk mereka baca, atau kertas lipat yang dapat mereka bentuk-bentuk di saat senggang.

Tak terasa jam makan siang pun tiba, dan kami pamit mengundurkan diri. Kami peluk erat mereka satu per satu, sekedar untuk memberikan kehangatan seorang saudara, yang mungkin sudah lama tidak mereka rasakan. Walaupun tatapan mata mereka kosong, namun bibir mereka tersenyum saat tangan kami menjabat mereka untuk mengucapkan salam perpisahan.  Saat kami beranjak meninggalkan ruangan itu, mereka pun kembali berceloteh dengan ramainya. "Kapan datang lagi?", "Jangan lupa bawakan kami coklat ya", "Belikan baju yang bagus buat kami ya", dan kata-kata lain yang tumpang tindih terdengar. Kami pun hanya tersenyum, tidak berani menjanjikan apa-apa.