Saturday, December 26, 2015

Rindu Keluarga, Rindu Beribadah.

Hari Jumat, tanggal 18 Desember 2015, Sahabat Insan mengunjungi RPTC Bambu Apus, untuk mengunjungi saudara-saudara TKI deportasi yang sedang ada di sana dan menyelenggarakan misa, sebelum mereka pulang ke kampung halamannya.

Sekitar sepuluh hari sebelumnya, 500 orang TKI asal Malaysia dipulangkan ke Indonesia  karena tidak memiliki dokumen. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Batam, Lampung, Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Flores. Pada saat pemulangan, mereka dinaikkan pesawat dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Dari Jakarta, mereka kemudian dipulangkan ke daerah masing-masing melalui jalan darat, kecuali TKI yang berasal dari Flores yang akan dipulangkan dengan kapal laut. Oleh karena jadwal kedatangan kapal yang tidak menentu, mereka menunggu cukup lama di rumah singgah tersebut sampai mendapatkan tiket pulang. Jumlah TKI asal Flores yang dideportasi kali ini berjumlah sekitar 70 orang.

Hujan rintik-rintik menyambut Sahabat Insan yang tiba di rumah singgah tersebut pada pukul 11.00. Tim Sahabat Insan kali ini cukup banyak. Selain Romo Ismartono, SJ yang akan mempersembahkan misa, ikut juga Sr. Laurentina, PI dan Sr. Matilda, PI, Sr. Murphy RSCJ, Sr. Lucia RSCJ, Tanti, Rintan dan Saras. Setelah pintu gerbang dibuka, seorang ibu berwajah Arab yang sedang menggendong anaknya menyambut kami. Di belakangnya, berlarian ketiga anaknya yang lain sambil tertawa gembira. Keluarga tersebut ternyata adalah pencari suaka, yang sedang mengurus statusnya sebagai pengungsi di sini. Sang Ibu sendiri tinggal di rumah singgah,karena merasa tidak aman tinggal bersama suaminya yang terus melakukan kekerasan kepadanya karena stress menjalani proses panjang untuk mendapatkan status pengungsi. 

Saat Sahabat Insan tiba di ruangan tempat misa, telah menunggu di sana beberapa Suster RGS dan FMM, yang bergabung bersama Sahabat Insan mendampingi para TKI deportasi ini. Suster Anna, RGS juga telah menyiapkan beberapa lagu untuk dinyanyikan saat misa nanti. Romo Ismartono kemudian menyapa para TKI yang sudah berkumpul di sebuah ruangan, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaku dosa sebelum misa. 




Sementara menunggu rekan-rekannya yang sedang mengaku dosa, tim Sahabat Insan yang lain berbincang-bincang dengan para TKI tersebut. Berbagai macam kisah pun terucap. Ibu Aty, sebut saja begitu, bercerita bahwa dia sudah dua puluh tahun bekerja di Malaysia. Selama puluhan tahun itu, berbagai profesi sudah ia jalani. Ia berangkat ke negeri jiran pada tahun 1995 dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di sana selama dua tahun dengan dokumen lengkap. Setelah itu, dia memperbaharui dokumennya dan bekerja di restoran, yang dilanjutkan ke perkebunan. Namun selama sepuluh tahun terakhir, dia bekerja dengan status 'kosong' alias tidak memiliki dokumen, namun tetap berhasil mendapatkan pekerjaan di sana karena dia memiliki teman-teman yang banyak yang selalu menawarinya pekerjaan. Ibu itu juga menyebutkan bahwa karena Berkat Tuhan lah, selama sepuluh tahun terakhir ia selalu terlindungi dari petugas-petugas yang rajin mencari para pekerja tanpa dokumen. Namun akhirnya, ia tertangkap juga 2 bulan yang lalu, dan dimasukkan dalam penjara.

Lain lagi cerita Ibu Siti (bukan nama sebenarnya). Bersama suaminya, dia berangkat ke Malaysia delapan tahun yang lalu. Di sana, ia bekerja sebagai tukang bangunan. Ya, tukang bangunan. Sebuah pekerjaan yang agak aneh terdengar dikerjakan oleh seorang perempuan. Namun kenyataannya, di sana banyak perempuan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Pekerjaan mereka tidak berbeda dengan tukang bangunan laki-laki: mengaduk semen, mengangkut batu bata, menngecat tembok dan seterusnya. Ibu itu bercerita, setelah ijin kerjanya habis, ia memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pekerjaannya dan fokus mengurus anak semata wayangnya dan tidak mengurus perpanjangan dokumennya. Namun malang tak dapat ditolak. Ia pun tertangkap oleh polisi setempat dan mendekam di penjara selama sebulan karena tidak berdokumen,sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia.




Dari cerita mereka, terungkap bahwa mereka sangat rindu beribadah, karena selama di perantauan, mereka dilarang untuk menjalankan kegiatan beragamanya, bahkan sekedar memiliki benda-benda rohani. Otomatis, sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah pergi kebaktian atau ikut misa. Berdoa mereka lakukan sendiri-sendiri saat pekerjaan telah selesai dilakukan. Maka mereka sangat gembira saat diberi kesempatan untuk melakukan misa di rumah singgah ini sebelum mereka pulang ke kampung halaman, dan juga diberi kesempatan untuk mengaku dosa. Orang-orang dari Flores memang terkenal religius, sehingga sulitnya beribadah ini cukup menyiksa hati. Bahkan, pada saat misa berangsung, beberapa dari antara mereka, termasuk para lelaki, meneteskan air mata karena kerinduan yang sangat mendalam untuk bertemu Tuhan. Salah satu hal yang menyenangkan saat misa bersama orang-orang dari Indonesia Timur ini adalah, suara mereka yang sangat merdu saat bernyanyi, yang menambah suasana khusuk saat misa. Pada bagian akhir misa, Romo memberkati mereka satu per satu.


Setelah misa, Romo juga memberkati rosario yang dibawa oleh para Suster RGS, dan membagikannya kepada para TKI deportasi ini. Romo berpesan agar mereka rajin melakukan rosario selama perjalanan yang akan ditempuh selama lima hari, agar lancar dan sampai di rumah dengan selamat. Mereka sangat gembira, dan langsung mengalungkan rosario ini ke leher mereka. Tak lupa, kami juga berphoto bersama dan beramah tamah dengan mereka, serta mebagikan bingkisan natal yang sudah dipersiapkan. Kami juga memanggil mereka yang tidak ikut misa untuk ikut bersama-sama menerima bingkisan sebagai bekal mereka selama di perjalanan pulang ke kampung halaman. 

Selamat jalan teman-teman. Semoga selamat sampai tujuan dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta, dan merayakan Natal tahun ini dengan gembira. 











Sunday, December 6, 2015

Menaker RI: Pekerja Migran Harus Memiliki Ketrampilan dan Kapasitas Pertahanan Diri Yang Memadai

Di tengah guyuran hujan deras dan petir, Jambore Buruh Migran yang sudah berlangsung selama tiga hari tersebut ditutup oleh Menteri Tenaga Kerja RI, Bapak Hanif Dhakiri.

Prosesi penutupan dilakukan setelah Plenary terakhir, yang bertema "Migrasi dan Buruh Migran: Penguatan Institusional dan Manifest Keberpihakan Pendidikan Tinggi" selesai dilaksanakan, dan panitia melakukan konferensi pers. Sambil menunggu kedatangan Bapak Menaker, dilakukan pemutaran video oleh Jamison Liang, Senior Southeast Asia Campaigner dari Walk Free, sebuah LSM anti perbudakan yang beberapa waktu terakhir ini sedang bekerja sama dengan Migrant Care berkampanye tentang hak asasi untuk pekerja rumah tangga, dengan membuat beberapa video untuk menyampaikan pesan kepada publik dan majikan, bahwa mereka harus menghargai pekerja rumah tangga di seluruh Indonesia. 


Selanjutnya, tari Jaran Goyang persembahan keluarga buruh migran asal Banyuwangi mengiringi kedatangan Bapak Menaker beserta rombongan. Setelah sambutan dari Anis Hidayah selaku direktur Migrant Care yang melaporkan hasil pelaksanaan Jambore Buruh Migran ini dan juga sambutan dari Rektor UNEJ, di hadapan Bapak Menaker dibacakan Manifesto Tegalboto: Kedaulatan Bangsa Untuk Kedaulatan Buruh Migran, yang dibacakan oleh para buruh migran purna asal Wonosobo, Kebumen, Cilacap, Banyuwangi, Lembata, Lombok Tengah dan Jember, yang pernah bekerja di Taiwan, Arab Saudi dan Malaysia. 


Poin-poin yang terkandung dalam manifesto tersebut adalah: 

  1. Bahwa negara selama ini masih memandang sebelah mata para buruh migran, terutama buruh migran wanita, seolah-olah mereka tidak memiliki kedaulatan sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai perempuan dan sebagai pekerja. 
  2. Situasi ini menjadi latar belakang diselenggarakannya jambore ini, yang tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya para pegiat buruh migran, namun juga melaksanakan dialog-dialog untuk merumuskan road map perlindungan buruh migran yang berbasis pada penegakan hak asasi manusia dan keadilan gender. 
  3. Road map tersebut dimulai dengan mereformasi kebijakan-kebijakan disriminatif, bias gender dan tidak melindungi buruh migran, dengan menuntut kehadiran negara secara maksimal, dan menghilangkan peran eksploitatif sektor swasta. Dalam skema migrasi saat ini, kehadiran negara bisa dimulai dari ujung tombak pemerintahan, yaitu desa.
  4. Komitmen-komitmen global dan nasional yang telah diakui oleh negara harusnya tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, namun juga menjadi panduan kebijakan. Kebijakan yang disusun harus juga berbasis pada kerentanan yang dialami oleh buruh migran, seperti kekerasan berbasis gender, praktik migrasi berbiaya tinggi, yang berpotensi terjadinya perdagangan manusia.
  5. Kekerasan kepada BMI juga harus dicegah dengan membangun sistem pendidikan dan juga membangun early warning system berbasis teknologi. 
  6. Keterlibatan perguruan tinggi dan akademisi mutlak diperlukan, dengan berkontribusi melalui pendidikan, penelitian dan pengabdiaan masyarakat, dengan cara memberikan materi tentang migrasi tenaga kerja di disiplin ilmu terkait, pembangunan pusat studi migrasi atau migration center, dan program pelayanan dan pengabdian masyarakat di daerah basis buruh migran.



Menanggapi usulan-usulan tersebut, Menaker menyampaikan pandangan dari Pemerintah mengenai isu buruh migran:



  1. Migrasi didorong oleh dua faktor besar, yaitu faktor pendorong dari dalam negeri (keterbatasan lapangan kerja, tingkat pendidikan, dll) dan faktor penarik dari luar negeri (ketersediaan lapangan kerja, gaji lebih baik dll). Kedua faktor ini senantiasa mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi, yang merupakan hak asasi warga negara.
  2. Pemerintah sendiri berharap dapat memperbaiki keadaan dalam negeri, tetapi tantangan yang dihadapi oleh sebuah negara bukanlah hal yang mudah untuk segera diselesaikan. 
  3. Migrasi haruslah berbasis pada hak asasi manusia, bukan pada remitansi, atau upaya meningkatkan devisa negara. Kewajiban negara adalah hadir untuk memastikan bahwa proses migrasi harus berlangsung baik dan aman.
  4. Human resources development system di Indonesia, hari ini posturnya masih memprihatinkan. Dari total 114juta pekerja di Indonesia, 90% nya adalah lulusan SMA ke bawah, tepatnya 50% lulusan SMA dan 40% nya lulusan SMP ke bawah. Kenyataan ini membuat SDM harus didorong untuk berkembang, karena di jaman yang tanpa batas ini, etika bekerja yang dipakai hanya satu, yaitu daya saing.
  5. Negara hadir, bukan berarti semua harus diurus negara, karena dalam internal negara sendiri ada oknum-oknum yang bekerja tidak benar, artinya negara sendiri juga harus berbenah, karena negara tidak sempurna. Dalam proses ini, kerjasama antar berbagai pihak menjadi sangat penting. Dalam dunia yang serba terintegrasi ini, tidak bisa hanya satu pihak yang mendominasi, namun semuanya harus terlibat, walau pun kontribusi negara tetap harus lebih besar. 
  6. Bentuk kehadiran negara, misalnya dalam bentuk ketersediaan informasi, sehingga calon-calon tenaga kerja tidak mudah tertipu oleh bujukan para calo. Juga dalam tata kelola, negara harus memastikan adanya tata kelola yang lebih sederhana, murah, cepat dan aman, sehingga BMI akan lebih suka memakai jalur resmi. Bentuk kehadiran negara yang lain adalah, memastikan adanya standar yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap lembaga-lembaga yang terlibat. Seperti yang tadi disebutkan bahwa BMI menginginkan penghapusan peran swasta, itu bisa didiskusikan lebih lanjut, karena sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan membuat sistem sehingga mereka yang tidak memberikan pelayanan yang baik kepada TKI tidak akan dipilih, dan akhirnya terseleksi mana pihak-pihak yang benar-benar berkualitas.
  7. Negara juga harus melakukan pengawasan yang keras dan konsisten, melakukan penegakan hukum yang sama kepada semua pihak, apakah itu aparatur negara, para penegak hukum, bahkan juga kepada TKI jika memang ada yang bersalah. 
  8. Negara juga harus hadir dalam masalah advokasi. Juga saat TKI tersebut pulang, ada pembinaan yang dilakukan kepada TKI purna sehingga tidak terjadi kasus misalnya 98% penghasilan di negeri orang dipakai untuk keperluan konsumtif, sehingga taraf hidup tetap tidak meningkat. Kredit usaha rakyat juga disediakan untuk mereka yang ingin mengembangkan usaha saat pulang. 
  9. Negara juga hadir untuk memastikan bahwa buruh tidak terjerat hutang. Potongan yang boleh dikenakan kepada buruh hanya 2 jenis: untuk jaminan sosial dan serikat pekerja. 
  10. Mengenai undang-undang, yang dilihat tidak bisa hanya yang berlaku di Indonesia, namun juga negara tujuan. It takes two to tango, sehingga sangat tidak tepat jika membuat kebijakan migrasi yang bersifat one for all, berlaku untuk semua negara. Misalnya tentang direct hiring, yang legal di Singapura, namun saat masuk KBRI menjadi illegal, sehingga pekerjanya merasa diterima di negeri orang tapi ditolak di negeri sendiri, padahal sebenarnya karena peraturannya berbeda. 
  11. Momen Jambore ini bisa dimanfaatkan untuk berpartisipasi secara aktif untuk merevisi undang-undang sesuai dengan kebutuhan pekerja. Pemerintah sangat terbuka menerima semua masukan dari berbagai pihak. 
  12. Pemerintah juga berharap para pekerja Indonesia memiliki self defence capacity yang kuat agar pekerja dapat mandiri di negeri orang. Selama ini para pekerja terbiasa mengurus segala hal melalui calo, sehingga semua tau beres. Contoh nyata manfaat kemandirian pekerja, para pekerja Filipina tidak ada yang mengalami gaji yang tidak dibayar bertahun-tahun, karena SDC nya kuat, sehingga saat sebulan saja tidak digaji, mereka langsung melawan. 
  13. Negara mensyaratkan bahwa untuk bermigrasi, selain memiliki kapasitas pertahanan diri yang memadai, juga perlu ketrampilan. Selama ini, kedua hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan, sehingga saat pekerja sampai di negeri orang, banyak yang menemui masalah. Kita semua berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas perlindungan diri, sehingga para pekerja memiliki pemahaman, kesadaran, dan mental yang jauh lebih baik.
  14. Negara tetap harus hadir dengan berbagai cara untuk perlindungan optimal, namun jika TKI nya kuat,maka penyelesaian di lapangan akan menjadi lebih mudah dan negara tidak menciptakan kemanjaan-kemanjaan yang tidak perlu.  
Mengakhiri sambutannya, Bapak Menteri kemudian menutup secara resmi penyelenggaraan Jambore Nasional Buruh Migra 2015 di Jember. Dalam kesempatan tersebut, beliau juga meresmikan Desa Peduli Buruh Migran Indonesia (Desbumi) di Balai Desa Sumbersalak, Ledokombo, Jember. Desbumi Sumbersalak merupakan desa ke-18 di Indonesia yang memiliki program sistem informasi dan pendataan warga yang menjadi buruh migran, mulai dari keberangkatan, penempatan sampai pemberdayaan purnaTKI.  



Monday, November 30, 2015

Ketua BNP2TKI: Proses Migrasi Harus Aman, Nyaman dan Murah.

Dari Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015

Ketua BNP2TKI Nusron Wahid, hari Selasa, 24 November 2015 membuka pelaksanaan Jambore Buruh Migran di Jember.



Dalam pidato pembukaan, Nusron mengatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tenaga kerja produktif yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan pertumbuhan ekonomi. Total angkatan kerja baru (yaitu usia produktif manusia, 18-55 tahun) setiap tahunnya bertambah 2,8juta, tetapi pembangunan hanya tumbuh 5%, dansetiap 1% pertumbuhan ekonomi, maksimal hanya menyerap 250 tenaga kerja. Jadi per tahunnya, angkatan kerja yang mendapatkan pekerjaan hanya sekitar 1,25-1,5 juta. Artinya, setiap tahun akan muncul potensi pengangguran baru sebesar 1,3juta - 1,5juta tenaga kerja.

Ketika ada pengangguran, maka memunculkan keniscayaan terjadinya migrasi. Migrasi pertama, terjadi dari desa ke kota. Jika di kota mereka tidak mendapatkan pekerjaan, maka terjadi migrasi kedua, yaitu dari kota keluar pulau. Jika tetap juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan, maka terjadilah migrasi ketiga, yaitu dari luar pulau ke luar negeri. Bagaimana posisi negara? Orang pindah dari satu negara ke negara lain adalah sah dan hak warga negara. Negara tidak boleh melarang orang lain untuk memperoleh pekerjaan di mana pun.

Jadi menghadapi fenomena migrasi ini, apa tugas pemerintah?

1. Memastikan bahwa proses migrasi terjadi dengan aman, nyaman dan murah. Pertanyaannya, apakah sudah terjadi? Fakta membuktikan bahwa masih banyak kesulitan yang terjadi di lapangan. Banyak pekerja harus dipotong gajinya berbulan-bulan untuk mengembalikan biaya pemberangkatannya. Artinya, migrasi belum murah dan nyaman, karena pekerja belum dimanusiakan dan ditempatkan secara terhormat oleh pemangku kepentingan di Indonesia. Oknum keamanan memandang pekerja migran sebagai obyek pemerasan yang optimal, lahan empuk, dan gampang dibohongi. Contoh kasus banyak sekali, misalnya yang menimpa pekerja-pekerja yang mencari nafkah di Timur Tengah. Memang berangkatnya tanpa ongkos, tapi di sana menerima gaji kecil, bahkan tidak digaji, terjadi pelecehan seksual, dan diperlakukan semena-mena.

Karena proses migrasi belum terjadi dengan aman, nyaman dan murah, maka banyak yang menjadi TKI illegal. Siapa salah? Salah semua pihak. Pertama, negara salah, kenapa aturannya berbelit-belit. Kedua, swasta juga salah, karena ongkosnya mahal. Ketiga, pekerjanya juga salah, karena menghalalkan segala cara. Padahal untuk mendapatkan kemanfaatan yang baik, harusnya juga memakai cara yang baik juga.

Pekerja migran sampai saat ini belum mendapatkan fasilitas emadai. Padahal buruh migran, dalam situasi ekonomi susah, adalah salah satu pihak yang menyelamatkan bangsa. Tahun lalu, negara ditolong oleh BMI sebesar 8,4M US Dollar, atau 110 trilyun rupiah. Tahun ini devisa yang masuk dari buruh migran diperkirakan sebesar 140 trilyun. Sektor-sektor lain, yang tidak menghasilkan devisa sebesar itu, dan menimbulkan efek kerusakan lingkungan di Indonesia, malah mendapatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan dari Pemerintah. Sementara, buruh migran yang cenderung tidak merusak apa pun, sampai hari ini belum mendapatkan fasilitas yang memadai dari Negara, Dengan dilaksanakan Jambore ini diharapkan agar paradigma pemerintah berubah untuk lebih mendukung buruh migran.

2. Melindungi WNI, terutama buruh migran yang ada di luar negeri. Siapa pun mereka, tidak ada satu profesi pun yang dianggap lebih hina dari yang lain. Semua jenis pekerjaan sama; pengacara, dosen, PRT, semua itu adalah profesi. Dalam kesempatan ini, Nusron mewakili pemerintah mohon maaf manakala kehadiran negara saat ini belum optimal, dan juga belum memberikan perlindungan maksimal. Sikap ini harus diambil, semua mulai dari titik nol, semua harus bekerja bersama. Oleh sebab itu, buruh migran harus duduk bersama pemerintah membuat kebijakan-kebijakan, terutama yang menguntungkan para buruh migran.

Pembukaan Jambore Buruh Migran 2015 ini dilanjutkan dengan penanaman pohon oleh Ketua BNP2TKI dan para pejabat yang hadir.

Lewat Foto Mereka Bersuara

Dari Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015

Ada hal yang menarik perhatian di salah satu sudut ruangan Gedung Soetardjo Universitas Jember, ruangan yang selama ini dipakai sebagai pusat kegiatan selama acara Jambore Nasional Buruh Migran 2015 ini. Ada pameran foto-foto bertemakan buruh migran. Kisah-kisah sukses, derita, kegalauan sampai harapan mereka tertumpah dengan apik dalam gambar-gambar tersebut.




Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pameran foto ini. Namun, setelah diamati lebih jauh, dan melihat profil yang tertera di bagian bawah gambar, barulah kita bisa berdecak kagum, karena ternyata gambar-gambar serta kalimat-kalimat indah yang dipamerkan disini adalah hasil karya ibu-ibu buruh migran, khususnya dari NTT dan NTB. Para fotografer berasal dari desa Darek (Kecamatan Praya Barat Daya), Desa Gerunung (Kecamatan Praya), dan Desa Nyerot (Kecamatan Jonggat) di kabupaten Lombok Tengah (NTB), serta Desa Beutaran, Desa Tagawiti dan desa Dulitukan, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata - NTT. Desa-desa tersebut merupakan beberapa desa dampingan dari Migrant Care.


Martina Lipat, salah satu fotografer yang juga mantan buruh migran asal desa Dulitukan, Lembata - NTT menceritakan bahwa mereka, yang tergabung dalam Komunitas Buruh Migran Sonata,  menerima pembekalan ketrampilan dari Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) bekerjasama dengan Migrant CARE, pada bulan Maret 2015. Selama seminggu penuh mereka diberikan pengetahuan tentang fotografi, cara  mengoperasikan kamera dengan benar, cara memilih gambar, serta cara membuat keterangan gambar (caption). Selanjutnya setelah teori diberikan, mereka diberi tugas untuk mencari tema gambar dari masing-masing alphabet, dari huruf A, B, C, D, sampai Z, yang berhubungan dengan buruh migran. Masing-masing tema kemudian diambil gambarnya dan dibuat caption. Dengan bimbingan dari pelatihnya, semakin lama mereka semakin terasah untuk peka melihat keadaan sekeliling dan menyuarakan dalam bentuk foto. Martina menambahkan, bahwa selesai pelatihan, komunitas mereka diberi sebuah kamera yang cukup canggih, yang bisa dipinjam untuk membuat sebuah foto jika sedang menemukan inspirasi.

Jagung adalah Makanan Pokok Kami - " Di desa kami, makanan pokok adalah jagung. Namun tidak mencukupi kebutuhan seharian hidup kami. Terpaksa kami menjadi buruh migran di perantauan untuk menambah kebutuhan ekonomi kami.". Demikian hasil jepretan dari Theresia Tuto, atau yang lebih akrab dipanggil Mama Theresia. Mama Theresia tidak pernah merantau menjadi buruh migran, namun beliau diminta untuk bergabung dengan komunitas buruh migran di desanya, yang bernama Komunitas Sonata. Karena hasil panen jagung di desa itu sangat melimpah, bersama anggota lainnya, Mami Theresia kemudian mengolahnya menjadi keripik jagung. Proses pembuatan keripik jagung ini memakan waktu kurang lebih satu minggu, karena di setiap proses dilakukan secara manual, sehingga waktu yang diperlukan juga lama. Dalam seminggu, mereka bisa memproduksi sekitar 100 bungkus keripik jagung, dengan catatan cuaca bersahabat/panas, sehingga mereka bisa menjemur jagung-jagung tersebut di bawah terik matahari. Namun, jika mulai musim penghujan, mereka menghentikan produksinya dan melakukan kegiatan lainnya seperti menenun atau membuat kerajinan-kerajinan lainnya.

Masih banyak tema yang diangkat oleh para fotografer handal ini, tentang air sungai yang tak lagi bening, tentang anak yang harus diasuh sang nenek karena orang tuanya merantau, tentang hasil bumi, tentang perubahan nasib, dan lain sebagainya. Jika gambar bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata, maka kegiatan fotografi para mantan buruh migran ini bisa jadi merupakan sarana yang efektif untuk menggali lebih dalam apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di desa tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Berikut beberapa foto yang dipamerkan dalam Jambore ini dengan segala kisah suka dan duka:
Ratapan Anak Buruh Migran:
Ternyata uang hasil menjadi buruh migran di luar negeri tidak bisa menggantikan kasih sayang ibunya

Berhasil Membantu Sekolah Ponakan:
Ternyata tanpa merantau pun, tetap bisa membiayai pendidikan, dengan berjualan dan memanfaatkan hasil bumi.
Pupusnya Harapan:
Angan-angannya untuk meningkatkan taraf hidup sirna setelah mendapatkan musibah di negeri jiran.

Membuat Perubahan:
Setelah suami istri merantau, akhirnya mereka berhasil mewujudkan mimpinya untuk membangun sebuah rumah.

Tiada Pilihan:
Keempat anak pemulung, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, memilih untuk merantau mencari peruntungan di negeri orang.


Ikan Segar:
Untuk menambah penghasilan, mereka juga berjualan ikan segar, walau hasilnya tidak sebanding dengan merantau menjadi pekerja migran

JAMBORE NASIONAL BURUH MIGRAN: NEGARA HADIR, BURUH MIGRAN TERLINDUNGI

Pada tanggal 23-25 November 2015, Migrant Care bekerja sama dengan BNP2TKI, Universitas Jember dan MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk penanggulangan kemiskinan) menggelar acara Jambore Nasional Buruh Migran, yang pada tahun ini mengambil tema: Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi.




Acara yang baru pertama kalinya diadakan di Indonesia ini bertujuan untuk:
1.       Memperkuat konsolidasi perlindungan buruh migran Indonesia dari desa hingga nasional yang relevan dengan agenda global dannasional.
2.       Mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif baru dalam perlindungan buruh migran Indonesia untuk mendekatkan akses keadilan bagi buruh migran dan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses bekerja di luar negeri.
3.       Mendorong menguatnya gerakan perlindungan buruh migran Indonesia melalui pengorganisasian komunitas dan buruh migran.
4.       Membangun strategi nasional antar multi-stakeholders untuk mewujudkan tersedianya instrumen dan payung hukum perlindungan bagi buruh migran Indonesia dari tingkat desa hingga nasional.
5.       Membuka ruang ekspresi budaya dan kreatifitas sebagai media pemberdayaan dan perlindungan buruh migran.
6.       Membuka ruang diskusi antar komunitas, buruh migran, masyarakat sipil dan pemerintah untuk usulan pembaruan kebijakan perlindungan buruh migran.
7.       Menyusun roadmap perlindungan buruh migran yang aman, murah dan cepat berbasis pada penegakan HAM dan keadilan gender. 

Acara Jambore dikemas dalam sebuah kegiatan yang reflektif, yang mempertemukan agenda global/nasional, menghimpun inisiatif-inisiatif dan gagasan-gagasan berbagai pihak yang bekerja untuk penguatan dan perlindungan buruh migran, serta merumuskan usulan-usulan dan langkah-langkah konkrit menghadirkan negara dalam upaya perlindungan buruh migran Indonesia. Bentuk kegiatan selama acara ini digelar adalah kegiatan di dalam ruangan (dialog kebijakan, seminar nasional, diskusi panel) dan kegiatan di luar ruangan (pameran, pentas seni, klinik hukum, klinik media).




Sebanyak sekitar 1670 orang berpartisipasi aktif dalam acara ini, yang terdiri atas:
  • Komunitas Buruh Migran dalam negeri (mantan buruh migran dan anggota keluarganya) dari Lembata NTT, Lombok Tengah, Jember,  Banyuwangi, Kebumen, Wonosobo, Indramayu, dan Blitar.
  • Buruh migran di luar negeri (Malaysia, Belanda, Singapura, Arab Saudi, dan Hongkong)
  • Organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur dan nasional.
  • Organisasi Buruh Migran
  • Pemerintah Pusat
  • Mahasiswa
  • Akademisi (UNEJ, UI, UGM, UNPAR, UNSOED, UNTROY, UNAIR, UNRAM)
  • Kapal Perempuan dan mitra.
  • PEKKA dan mitra
  • Koalisi Perempuan Indonesia
  • Komunitas TKI Purna (BNP2TKI) Banyuwangi dan Jember.

Sahabat Insan sendiri dalam acara ini diminta untuk mendampingi Komunitas Buruh Migran asal Lembata – NTT, yang membawa 100 orang yang terdiri atas pastor, bupati, kepala desa, aparat desa dan terutama mantan buruh migran dan anggota keluarganya.  Mereka merupakan kelompok buruh migran yang datang ke Jember dengan memakai jalur transportasi terlengkap, yaitu darat, laut dan udara. Perjalanan yang cukup panjang ini ditempuh  dalam waktu 3 hari, dengan jalur Lembata – Larantuka – Kupang- Surabaya dan Jember.





Dalam kata sambutannya, Anis Hidayah selaku direktur Migrant Care mengatakan bahwa 6,5 juta pekerja migran yang ada di Indonesia belum diperlakukan sebagai manusia.  Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah migrasi yang ada di Indonesia ini lebih pada pendekatan ekonomi, bukan memandang masalah yang ada sebagai pelanggaran hak asasi manusia.  Hal ini menyebabkan semua pihak mengejar keuntungan tanpa mempedulikan nasib buruh migran. Hal ini terjadi dari rezim Orde Lama sampai hari ini. Konsep Nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Jokowi pun belum berjalan dengan optimal. Oleh sebab itu, Jambore ini diharapkan dapat menyumbangkan roadmap bagaimana negara harus melindungi para buruh migrannya. Penyelamatan harus sudah dilakukan secara sistematis dan terencana, bukan hanya seperti yang terjadi selama ini yang terkesan reaktif, spontan, dan menunggu korban jatuh terlebih dahulu. Begitu juga dari bidang akademis, diharapkan universitas-universitas memiliki studi tentang migrasi, sehingga dunia migrasi akan berkembang dari waktu ke waktu. Anis menambahkan bahwa saat ini belum ada satu universitas pun di Indonesia yang mempelajari tentang hal ini.


Selanjutnya, Rektor Universitas Jember Drs. Moh. Hasan, MSc., PhD selaku tuan rumah mengucapkan selamat datang kepada para peserta jambore.  Beliau mengatakan bahwa Universitas Jember sebagai insan pendidikan tinggi memiliki komitmen untuk memperjuangkan bersama-sama agar kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan buruh migran benar-benar mensejahterakan para buruh.  Universitas Jember bertekad mendukung semua program dalam acara ini berlangsung dengan baik, sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan.


Sesudah kata-kata sambutan,serangkaian acara Jambore buruh Migran pun dimulai, yang diawali dengan doa pembukaan. Selanjutnya, berbagai plenary dan diskusi-diskusi tematik pun dimulai. Selama tiga hari penyelenggaraan Jambore, terdapat 5 plenary yang dilaksanakan, yaitu:
  1. Komitmen Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Buruh Migran,
  2. Reformasi Tata Kelola Buruh Migran di Indonesia,
  3. Migrasi dan Pembangunan,
  4. Buruh Migran dan Kekerasan Terhadap Perempuan,
  5. Migrasi dan Buruh Migran: Penguatan Institusional dan Manifest Keberpihakan Pendidikan Tinggi. 
Ditambah dengan 18 diskusi tematik yang diselenggarakan secara pararel dalam dua hari.

Acara yang dibuka oleh Ketua BNP2TKI Bpk. Nusron Wahid dan ditutup oleh Menteri Tenaga Kerja RI Bapak Hanif Dakiri ini menghasilkan beberapa hal, seperti yang disampaikan oleh Anis Hidayah, direktur Migrant Care dalam sambutan penutupnya, sebagai berikut:  
1.      Peserta Jambore menginginkan perubahan sistem dari paradigma yang eksploitatif dan tidak manusiawi menjadi migrasi yang berbasis pada penegakan HAM dan keadilan gender bagi seluruh WNI yang bekerja di berbagai negara.
2.      Jambore juga menuntut agar Negara hadir dimulai dari ujung tombak yaitu desa, melalui penyediaan layanan publik yang layak bagi tenaga-tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.
3.      Peserta menuntut dihapusnya peran sektor swasta yang selama ini menjadi biang keladi atau masalah yg melahirkan berbagai pelanggaran karena terfokus untuk mengambil keuntungan.

Ke depannya, peserta Jambore juga menginginkan adanya migrasi yang aman, yang bisa menghasilkan biaya yang murah, aman dan menjamin pemenuhan hak-hak pekerja migran sebagaimana dijamin dalam Konvensi Buruh Migran yang telah diratifikasi oleh pemerintah tiga tahun yang lalu. Selain itu juga diharapkan, negara, baik eksekutif maupun legislatif segera menuntaskan reformasi kebijakan migrasi mulai dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berada di bawahnya yang masih bersifat diskriminatif, tidak adil gender, dan tidak pro perlindungan.

Pada akhirnya selama tiga hari, peserta Jambore bukan sekedar berkumpul, namun berusaha mengukuhkan gerakan konsolidasi untuk memastikan bahwa buruh migran harus dilibatkan secara langsung dalam proses-proses penting yang menyangkut hidup mereka. Peserta juga berharap semoga ke depan perguruan tinggi dapat menghasilkan studi migrasi yang sampai hari ini belum ada di Indonesia. 

Saturday, October 31, 2015

MASKER UNTUK KORBAN KABUT ASAP

Di tahun 2015 ini, lebih dari 25 juta jiwa terdampak asap di tanah air. Lebih dari 100 ribu jiwa menderita ISPA. Bayi-bayi dievakuasi ke ruangan kedap udara. Sekolah libur, bandara lumpuh, 3 propinsi menyatakan status tanggap darurat yaitu Riau, Jambi dan Kalteng.

Pemerintah pun tidak kurang usahanya untuk menangani bencana ini. Sebanyak 365 milyar telah dikeluarkan BNPB untuk menanggani penyebab asap, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Usaha yang dilakukan antara lain adalah  pemadaman kebakaran lahan dan hutan di daratan; pemadaman di udara melalui water bombing menggunakan helikopter dan hujan buatan menggunakan pesawat terbang, pembuatan kanal bersekat untuk  rewetting (perendaman) lahan gambut, sosialisasi besar-besaran agar tidak membakar lahan, mencari dan menindak tegas pembakar hutan, mengobati gangguan kesehatan yang dialami masyarakat dan usaha-usaha lainnya yang dilaksanakan dengan  dukungan semua pihak: pemerintah daerah, swasta dan masyarakat serta negara-negara tetangga yang ikut terkena dampaknya, terutama Singapura.


Menurut website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (www. menlhk.go.id), per tanggal 4 Oktober 2014, sebanyak 14 wilayah di Indonesia memiliki Indeks Kualitas Udara (IKU) yang tidak sehat, dengan rincian 4 wilayah memiliki indeks dalam golongan tidak sehat (ISPU 101-199) yaitu Dumai, Palembang, dan Pontianak1 dan Pontianak2. Satu daerah tergolong sangat tidak sehat (200-300), yaitu Kabupaten Rokan Hilir. Sisanya memiliki indeks berbahaya (lebih dari 300), dengan kota Palangkaraya memiliki ISPU yang sangat tinggi jauh melebihi standar indeks berbahaya, yaitu 1598. 

KARINA (www.karina.or.id) sebagai lembaga pelayanan kemanusiaan KWI, sepanjang bulan September telah membantu meringankan penderitaan warga yang terkena dampak kabut asap dengan mendistribusikan puluhan ribu masker bekerja sama dengan Keuskupan setempat. Masker yang selama ini didistribusikan adalah surgical mask. Dengan bertambah buruknya kondisi udara di wilayah-wilayah terdampak, maka diperlukan masker yang lebih berkualitas sehingga lebih mampu melindungi dari udara yang sangat tercemar. Oleh sebab itu, sepanjang bulan Oktober ini, KARINA merencanakan untuk mendistribusikan sekitar 75 ribu masker ke berbagai wilayah yang terkena kabut asap. Jenis masker yang dipilih adalah tipe N95.

Selain dengan keuskupan setempat, KARINA menjalin kerja sama dengan Caritas Humanitarian Aid & Relief Initiatives, Singapore (CHARIS) and RGS, LSM yang berbasis di Singapura yang akan membantu mendistribusikan masker2 tersebut ke beberapa area terdampak.

Berikut rencana pendistibusian masker oleh KARINA sepanjang bulan Oktober ini:
§  Padang: 5,000 buah.
§  Pekanbaru: 11,000 buah.
§  Air Molek: 10,000 buah.
§  Dumai: 10,000 buah.
§  Duri: 10,000 buah.
§  Pasir Pengarayan: 10,000 buah,
§  Pangkalan Kerinci: 10,000 buah.
§  Perawang: 10,000 buah.

Anda tergerak untuk membantu? Kirimkan donasi Anda ke:
Bank BCA Cabang Puri Indah, Jakarta
288 308 0599
Yayasan KARINA

Perhatian Anda, sekecil apapun, akan sangat berarti bagi mereka yang saat ini seakan-akan telah putus harapan dan tidak tahu lagi bagaimana mengatasi keadaan ini. Semoga semua usaha  yang telah dilakukan secara bahu membahu oleh semua pihak dapat segera memulihkan keadaan sehingga mereka dapat menjalani kembali hari-hari mereka dengan normal.