Wednesday, April 30, 2014

Mengantar Pulang Korban Traffiking Walet di Medan ke Kupang

Jumat, 25 April 2014, kami (Sr. Lia RGS dan Sr. Eugenia PBHK) diberi kesempatan mendampingi kepulangan para korban traffiking asal Kupang yang dipekerjakan di rumah sarang burung walet di Medan. Pagi itu, rombongan yang berangkat berjumlah  21 orang, terdiri atas 17 adik-adik korban traffiking, mbak Rere dari IOM, Ibu Ismi dari RPTC Bambu apus, dan kami berdua. 

Tampak wajah adik-adik tersebut sangat gembira karena mereka akan kembali ke kampung halaman dan berjumpa dengan keluarga tercinta. Keberangkatan mereka ke kampung halaman telah mereka persiapkan sejak pukul 03.00 pagi. Mereka mengenakan seragam batik dan memakai sweater dengan model yang sama. Masing-masing membawa tentengan berisi bekal dan barang-barang lain yang sudah tidak dapat masuk ke dalam ransel. Tampak semua sibuk dengan bawaannya.

Rombongan kami meninggalkan Bandara Soekarno Hatta Pukul 09.10. Sebelum sampai ke Kupang, kota tujuan kami, pesawat Lion air yang membawa kami transit di Bandara Juanda, Surabaya, sekitar 20 menit. Kami baru tiba di Bandara El Tari, Kupang, pukul 13.10 waktu setempat.

Adik-adik turun dari pesawat di Bandara El Tari, Kupang

Foto bersama di Bandara El Tari, Kupang

Pastor Leo Mali Pr. sudah menyambut kami saat turun dari pesawat, lalu kami diarahkan untuk masuk ruang tunggu VIP. Pegawai Dinas Sosial Propinsi NTT menyambut kami dan mengucapkan selamat datang kepada para korban traffiking. Kami beristirahat sambil makan siang yang telah disiapkan oleh Dinas Sosial setempat. Menurut rencana, setelah makan siang, rombongan akan menuju kantor Dinas Sosial setempat karena pihak IOM dan Dinas sosial Jakarta akan menyerahkan secara resmi adik-adik tersebut kepada Dinas Sosial NTT.

Pastor Leo Mali Pr. menyambut adik-adik

Sementara kami makan, ada beberapa petugas dari Polda NTT datang dan menyampaikan akan membawa rombongan ini menghadap Kapolda NTT karena bapak Kapolda ingin bertemu dengan mereka. Perubahan jadwal diluar rencana itu, menyebabkan terjadi adu argumentasi yang  alot antara pihak IOM sebagai penanggung jawab pengantar dengan utusan Kapolda. Setelah lebih dari setengah jam berdebat maka, disepakati bahwa rombongan menghadap Kapolda terlebih dulu setelah itu baru ke kantor Dinas Sosial NTT.

Rombongan keluar dari ruang VIP langsung menuju kendaraan masing-masing, khusus adik-adik dengan bus Dinas Sosial Propinsi NTT. Sebelum masuk bus, ternyata adik-adik ini telah melihat keluarga mereka yang juga telah menunggu di bandara. Maka tangis pun pecah di dalam bus itu. Mereka ingin bertemu keluarga yang sudah cukup lama ditinggalkan, tapi belum ada kesempatan. Keluarga juga tampak menangis menyaksikan adik-adiknya yang langsung masuk ke dalam bus. Para orangtua dan sanak saudara mereka hanya mampu melihat dari jauh. Saya dan tiga ibu Polwan di dalam bus berusaha menenangkan adik-adik yang masih terus menangis sepanjang perjalanan. Kami meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja dan setelah pulang dari kantor Polda, mereka bisa bertemu keluarga masing-masing.

Wajah adik-adik korban traffiking tampak masih lelah dan sedih saat pertemuan dengan bapak Kapolda. Sampai Mbak Rere dari IOM berkata “Kalian jangan takut, memang kita ini di kantor polisi dan banyak bapak-bapak Polisi disini, hayo mana senyum dan tawanya?” Lalu adik-adik tersebut tampak tersenyum, walaupun terpaksa. Mereka pasti mengingat keluarga mereka yang hanya bisa mereka liat dari jauh.

Pertemuan dengan Kapolda

Kapolda NTT, Brigjed (Pol.) Untung Yoga Ana menyampaikan keprihatinannya terkait dengan peristiwa yang menimpa mereka. Beliau berharap agar diantara adik-adik yang telah menjadi korban traffiking ini dapat membantu pihak kepolisian dalam sosialisasi kepada masyarakat luas tentang bahaya traffiking. Bapak Kapolda berharap, apabila korban sendiri yang menceritakan pengalamannya kepada masyarakat, maka masyarakat akan lebih yakin.

Setelah kurang lebih tiga seperempat jam pertemuan di lantai dua ruang tamu Kapolda dilakukan, rombongan turun kembali dan hendak menuju bus. Ternyata di lantai dasar pintu masuk, keluarga sudah menunggu. Dengan harap-harap cemas, melihat keluarga yang sudah ada di situ mereka langsung berhamburan mencari keluarga masing-masing.

Keluarga menunggu di depan Kapolda

Pemandangan sangat mengharukan, masing-masing dalam pelukan keluarga dengan iringan tangis dan air mata. Tangis itu adalah tangis kerinduan, bahagia, dan syukur karena mereka bisa bertemu dengan keluarga dalam keadaan sehat. Setelah suasana agak mereda, adik-adik dipersilahkan naik bus kembali dan para ibu diperkenankan ikut serta dalam bus bersama putri-putrinya.

Perjalanan kami lanjutkan ke kantor Dinas Sosial Propinsi NTT. Di sana, akan diadakan serah terima resmi adik-adik itu kepada pemerintah setempat dalam hal ini oleh Dinas Sosial. Ternyata peristiwa adu argumentasi terjadi lagi di kantor, sama seperti saat di ruang tunggu bandara. Dinas Sosial mengkehendaki adik-adik ini beristirahat dahulu di shelter mereka, tetapi AMPERA (Aliansi Melawan Perdangangan Orang) mengkehendaki adik-adik disatukan dengan keluarga yang sudah menunggu dari pagi, bahkan ada yang sudah bermalam. Perdebatan yang  melibatkan pihak IOM, Dinas Sosial Propinsi NTT, AMPERA dan orang tua terjadi sangat panjang dan melelahkan. Mereka beradu argumen di dalam ruangan kantor.


Berjumpa dengan keluarga

Sementara, saya, Sr. Lia dan Ibu Maria menjaga adik-adik di halaman kantor.  Mereka baru keluar dari dalam kantor setelah jam menunjukan pukul 19 lewat waktu setempat, dengan hasil akhir adik-adik yang sudah dijemput orang tua langsung diserahkan kepada orang tua dan yang belum dijemput orang tua mereka bermalam di shelter Dinsos. Akhirnya rombongan terpecah menjadi dua, 14 anak bersama keluarga mereka dan akan bermalam di kantor JEPIT (Jaringan Ekumene Perempuan Indonesia Timur) dan 3 anak pulang bersama Dinas Sosial menuju shelter. Dua dari tiga anak ini akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Flores dan yang satu masing menunggu orang tua yang sementara dalam perjalanan menuju Kupang.

Malam ini, Sr. Lia, Ibu Maria dan saya memutuskan untuk mengikuti rombongan besar menuju ke kantor JEPIT. Karena jalanan macet, sopir yang membawa kami mencari jalan lain menuju kantor JEPIT. Sampai di sana, ternyata kami sampai terlebih dahulu. Bus Dinas Sosial yang  membawa rombongan adik-adik dan keluarga tiba beberapa menit kemudian. Di kantor JEPIT sudah berkumpul beberapa orang tetangga sekitar kantor, keluarga yang tidak ikut menjemput, dan juga terdapat seorang ibu yang adalah Pendeta.

Beberapa kursi plastik sudah disiapkan untuk menyambut rombongan. JEPIT menyewa satu rumah keluarga yang dijadikan sebagai kantor. Sebenarnya rumah ini tampak besar dengan empat kamar tidur dengan kamar mandi di dalam dan ruang tamu serta ruang keluarga, tetapi terasa sempit setelah rombongan adik-adik dan keluarganya datang. Karena total yang berada di dalam ruangan termasuk adik-adik sekitar 60 orang.

Hari sabtu, tanggal 26 siang, kami datang kembali ke kantor JEPIT mengantar makan siang untuk adik-adik dan keluarganya. Kami membawa 60 bungkus nasi yang kami beli di rumah makan padang. Saat kami datang, sedang diadakan pertemuan antara adik-adik, orang tua, dan dua orang polisi yang berpakaian preman. Mereka sedang mengambil keterangan dari adik-adik. Polisi tersebut sedang melengkapi berkas-berkas laporan adik-adik yang sudah pernah dibuat di Medan. Tujuan sekarang adalah untuk menjerat perekrut tenaga kerja yang ada di Kupang.

Setelah semua urusan dengan kepolisian selesai, akhirnya adik-adik korban traffiking tersebut dapat menarik nafas lega dan tersenyum gembira karena mereka diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Sahabat Insan mengucapkan terima kasih atas semua pihak yang telah peduli, mendampingi, membantu adik-adik para korban traffiking ini sampai akhir. Mari kita doakan bersama supaya mereka dapat menjalankan kehidupan selanjutnya dengan sukacita.


ditulis oleh Sr. Eugenia PBHK

Undang-Undang Bantuan Hukum dalam Seminar AAI

Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI menyelenggarakan seminar sehari yang bertajuk “Peranan Advokat Memperjuangkan Hak Anak dan Perempuan sebagai Korban”. Sahabat Insan berkesempatan menghadiri seminar tersebut yang diselenggarakan pada hari Jumat, 25 April 2014 yang lalu, di Gedung Joang 45.

Seminar tersebut dibagi menjadi 2 sesi yaitu, sesi 1 terkait anak dan perempuan, sedangkan sesi 2 membahas sebab dan bantuan. Pembicara pertama pada sesi 1 yaitu Ibu Erna Sofyan Syukrie, staf ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dia memberikan paparan mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan sebagai korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak. Sementara itu, pembicara kedua adalah Ibu Mudjiati, deputi bidang perlindungan perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dia memaparkan mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban tindak pidana perdagangan orang dan kekerasan psikis. Sesi ke-2 dimulai dengan pembahasan mengenai sosialisasi dan implementasi Undang-Undang Bantuan Hukum oleh Bapak Bambang Palasara selaku Kepala Pusat Penyuluhan Hukum dan Ibu Kristi Purwandari mengenai dampak pornografi ditinjau secara psikis dan psikologis terhadap korban tindak pidana perempuan dan anak.

Seminar ini memang fokus pada perempuan dan anak, mengingat bahwa perempuan dan anak merupakan dua kelompok rentan. Rentan maksudnya dalam pemenuhan hak-haknya, rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang (traffiking), bahkan juga dalam penanganannya, yang selalu dikelompokkan sebagai un-profit case. Hal tersebut membuat kita teringat akan berita yang akhir-akhir ini tengah marak: kasus anak TK JIS yang mendapat pelecehan seksual di sekolahnya.

Pertanyaan menarik terjadi pada saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta bertanya dengan begitu lantang. Pertanyaan-nya terkait dengan kasus traffiking. Dia mengatakan bahwa negara kita tidak pernah belajar dan pintar, bertahun-tahun Indonesia mengirim TKI untuk bekerja ke luar negeri dan berjuta-juta TKI menunggu hukuman mati. Menyedihkan karena kasus mereka itu ternyata tidak didampingi advokat sejak awal. Kita ingat salah satunya seperti kasus Satinah yang beruntung dapat selamat dari hukuman pancung, namun harus membayar denda 21 Miliyar. Tentu semua itu tidak akan terjadi apabila ada advokat yang mendampingi Satinah sejak awal persidangan. Bapak tersebut juga mengusulkan sekaligus menanyakan advokat di setiap Kedubes Indonesia di luar negeri. Sayangnya, kami tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari pembicara.

Sebetulnya, seminar ini lebih ditujukan kepada para penasihat hukum, salah satunya agar keberadaan Undang-Undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum semakin tersosialisasikan dan ter-realisasikan. Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan penanganan kasus terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban. Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut sebenarnya sudah mulai digagas sejak tahun 1998 oleh para aktivis organisasi bantuan hukum, namun baru diundangkan pada 2 November 2011. Bantuan ini tersebar di berbagai instansi maupun lembaga, yang utama di Mahkamah Agung. 

Penerima bantuan hukum tersebut meliputi setiap orang atau kelompok miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Pak Bambang menjelaskan bahwa hak dasar yang dimaksud meliputi sandang, pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan perumahan. Intinya penerima adalah mereka yang miskin secara ekonomi. 

Masalah yang dibantu meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, tata usaha negara baik secara litigasi, maupun nonlitigasi. Termasuk menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan penerima bantuan hukum.

Dalam perjalanannya, dana bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah yakni sebesar 45 Miliyar. Dapat kita bayangkan, untuk seluruh pelosok daerah di Indonesia, tentu dana 45 miliyar adalah jumlah yang sedikit. Menjadi sangat memprihatinkan karena penggunaannya tidak maksimal, bahkan dapat dikatakan menyimpang. Mengapa demikian? Karena dana tersebut pernah digunakan untuk membayar pengacara yang mendampingi pejabat yang melanggar hukum. Selain itu, hanya sedikit lembaga yang memberikan bantuan hukum, akreditasinya pun kebanyakan kurang, di Jakarta misalnya hanya 2 lembaga yang mendapat A yakni LBH Jakarta dan LBH Mawar Saron. 

Belum optimalnya Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut diceritakan secara gamblang oleh Pak Bambang. Banyak lembaga yang tidak memenuhi syarat sebagai sembuah lembaga pemberi bantuan hukum. Ada lembaga yang fiktif, ada juga lembaga yang memiliki hanya 1 advokat, dan bahkan ada yang tidak memiliki advokat. 

Pak Bambang juga memberikan gambaran bahwa di daerah-daerah kekurangan advokat, karena para advokat tak menyebar secara rata, tapi lebih banyak hanya berada di Jakarta. Namun, miris, karena ternyata banyak narapidana di Cipinang misalnya, yang menjalani persidangan tanpa bantuan dari advokat. Banyak dari mereka yang malah diancam untuk tidak menggunakan advokat karena akan membuat mereka lebih lama lagi di penjara, dan sebagainya. Padahal, mereka berhak mendapatkan bantuan tersebut.


Sesungguhnya, Undang-Undang Bantuan Hukum ini sangatlah bermanfaat untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dalam memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada umumnya. Semoga saja untuk selanjutnya, undang-undang tersebut dapat lebih tersalurkan secara terintegrasi, terarah, dan optimal.



Thursday, April 24, 2014

Membantu Operasi Kista Ibu Ati

Ibu Ati, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu korban perdagangan manusia. Dia dirujuk oleh Dinas Sosial Tanjung Pinang untuk dirawat di Shelter Sahabat Insan. Ibu yang berusia 43 tahun itu berasal dari Semarang. Dia hanya memiliki satu anak yang sudah berkeluarga. Sudah lama dia berpisah dari suaminya, meski belum cerai secara hukum. Suaminya meninggalkan Ibu Ati dengan hutang-hutang yang harus ia lunasi. Maka, gaji yang dikirim Ati selama bekerja di Malaysia, salah satunya untuk melunasi hutang-hutang suaminya. 

Ati datang ke Shelter Sahabat Insan pada tanggal 11 April 2014 yang lalu. Keesokan harinya, Sahabat Insan langsung datang mengunjunginya. Melalui waktu yang singkat itu kami mengetahui bahwa Ati berada dalam keadaan yang kurang sehat. Perutnya agak membesar dan dia berjalan dengan perlahan seperti sedang menahan rasa sakit. 

Sr. Eugenia, PBHK mendampingi pemeriksaan Ibu Ati

Pada bulan Juli 2012, Ati sempat ditawari pekerjaan oleh Pak Darno. Pak Darno mengatakan bahwa gaji yang akan diterima di Malaysia besar. Karena terbujuk dengan kata-kata Pak Darno, pergilah Ati yang kemudian ditampung, di rumah sang agen, Ibu Aminah. Dia menjanjikan Ati akan mendapatkan gaji sebesar RM.750 dengan potongan 3 bulan. Berbekal pasport dan visa palsu yang dibuat agen, Ati pun berangkat ke Malaysia pada bulan Agustus 2012.

Ternyata di Malaysia, pekerjaan yang dijanjikan agen tidak sesuai. Awalnya Ati mengira dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga saja, tetapi ternyata dia juga harus menjaga bayi. Ketika bekerja, Ati sering merasa sakit perut. Untuk mengatasi sakit tersebut, Ati biasanya meminum obat Maag. Sampai September 2013, Ati tak dapat lagi menahan sakit perutnya. Dia pun dibawa majikannya berobat ke klinik. Namun, klinik merasa tak sanggup mengatasi dan merujuk ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit, Ati di-diagnosa memiliki tumor di ovarium dan harus menjalankan operasi. Majikannya melaporkan kondisi Ati ke agen dan menyerahkannya ke agen. Kepada agen, Ati meminta untuk dipulangkan ke Indonesia.

Agen tersebut yaitu Ibu Aminah sebenarnya adalah mantan adik ipar Ati, dia bukannya memulangkan Ati, justru membawanya ke hotel. Dia membujuk Ati untuk bekerja kembali dan hendak mencarikan Ati majikan baru. Ati sempat menolak, namun ia diancam akan dipanggilkan polisi yang akan menangkapnya. Karena takut, Ati terpaksa mengiyakan agen dengan kondisi masih sakit.

Selama berada di rumah agen, seringkali Ati digoda oleh suami Ibu Aminah. Namun, dengan berani, Ati menolaknya. Bahkan, Ati sampai mengancam akan melaporkan dirinya ke polisi jika ia berani bertindak kurang ajar. Ibu Aminah yang mengetahui kelakuan suaminya, bukan melindungi Ati, justru membiarkannya. Ibu Aminah bahkan mengatakan dengan gampangnya, bahwa suaminya sudah biasa meminta pelayanan seperti itu.

Ati kemudian berusaha memberanikan diri untuk lari ketika hendak dijemput majikan baru. Dia membawa pasport-nya, namun sempat ditangkap karena visanya palsu. Ati sempat pingsan dengan kondisi perut yang membesar. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit di Malaysia.

KJRI sempat meminta pertanggungjawaban agen untuk memulangkan Ati. Namun, Ibu Aminah ternyata sudah meninggal di rumah sakit tempat Ati dirawat. Selama berada di rumah sakit, Ati mengaku sangat takut. Dia tidak mau para dokter di sana melakukan operasi. Ati hanya meminum obat-obatan untuk menahan sakitnya sampai dia dipulangkan ke Indonesia.

Sahabat Insan berusaha memberikan pertolongan secepatnya. Berbekal hanya dua lembar kertas berisi keterangan kesehatan Ati dari rumah sakit di Malaysia, kami membawa Ati untuk melakukan pemeriksaan ulang di Rumah Sakit Carolus. Ketika di USG, dokter mengatakan bahwa banyak kista yang terdapat di kandungannya, sehingga harus cepat di-operasi. Maka, dengan segera Sahabat Insan bekerja sama dengan Peduli Buruh Migran mengurus segala keperluan untuk operasi tersebut. 

Ibu Ati juga sempat menginap di Susteran PBHK dan dirawat di sana oleh Sr. Eugenia PBHK selama 2 hari. Bisa jadi, Susteran PBHK tersebut adalah tempat pertama yang menjalankan surat dari Paus, yakni himbauan agar biara-biara memberikan tempat untuk menampung mereka yang miskin, menderita, dan dipinggirkan. 

Berkat bantuan dari berbagai pihak, puji Tuhan operasi telah dilaksanakan Senin, 21 April 2014 yang lalu di Rumah Sakit Tarakan. Operasi berjalan lancar dan Ati kini dalam masa pemulihan. Dua hari pascaoperasi, tepatnya hari Rabu, Ati sudah diizinkan pulang oleh dokter. Ati kini memulihkan kondisinya di Shelter Sahabat Insan. 

Biaya operasi di RS Tarakan sebesar Rp8.800.000,00, sedangkan untuk obat-obatan, dan lain-lain sebanyak Rp7.200.000,00. Sampai dengan Rabu, 23 April 2014, total pengeluaran untuk Ibu Ati sebesar Rp16.000.000,00. Biaya tersebut belum diakumulasi total keseluruhannya, karena Ibu Ati masih menjalani rawat jalan. Oleh karena itu, Sahabat Insan hendak menyampaikan terima kasih kepada para donatur yang dengan sukarela membantu operasi Ibu Ati.

Ati hanyalah salah satu buruh migran yang berhasil dengan selamat pulang ke tanah air. Dia beruntung karena segera mendapatkan pertolongan. Namun, apabila dengan seksama kita perhatikan, masih banyak lagi Ati Ati yang lain, yang masih terus berharap datangnya pertolongan.
          

Monday, April 21, 2014

Merayakan Paskah Bersama Anak-anak NTT

Sahabat Insan berbagi sukacita kebangkitan Yesus bersama dengan Anak-anak NTT di Susteran RGS, Jatinegara. Paskah tahun ini tentu akan mereka kenang, sekalipun mereka tidak dapat merayakan bersama dengan keluarga di kampung halaman. Ucapan syukur kepada Tuhan yang telah membebaskan mereka dipanjatkan dalam Perayaan Ekaristi, Minggu, 20 April 2014 kemarin.

Foto bersama anak-anak NTT di RGS

Biasanya, hari-hari mereka lalui hanya berada di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Sudah berbulan-bulan lamanya mereka tak pergi ke mana-mana hanya untuk sekadar melihat keramaian kota. Sampai Paskah tiba dan hari itu terasa istimewa karena mereka di-izinkan pergi menuju Susteran RGS di Jatinegara mengikuti Misa bersama. 

Anak-anak NTT tersebut harusnya pulang sebelum Paskah. Namun, karena suatu hal maka, kepulangan mereka ditunda sampai minggu ini. Mereka sebelumnya adalah buruh yang bekerja di Bogor, pada majikan Jenderal, dan di Medan, pada majikan Sarang Burung Walet. Selama bekerja mereka kerap kali diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dieksploitasi, dipukul, tidak diberi makan layak, bahkan sampai mengalami pelecehan seksual. Dan yang paling memprihatinkan, beberapa dari mereka ternyata masih berusia anak. Berita ini juga sempat heboh beberapa waktu lalu di berbagai media. 

Bersama dengan beberapa suster, dan para awam yang tergerak untuk berbagi kasih Paskah dengan mereka, Misa perayaan Paskah pun diselenggarakan. Misa berjalan penuh sukacita dipimpin oleh Romo Benny Juliawan, SJ. Usai Misa, anak-anak NTT tersebut mengobrol bersama. Paskah hari itu diakhiri dengan makan bersama, sumbangan dari salah seorang awam yang ikut merayakan Paskah bersama.

Dan sesulit apa pun kehidupan mereka dahulu, kini wajah-wajah anak-anak NTT tersebut sudah bisa merekahkan senyum dan tawa kembali. Semoga mereka dapat segera kembali ke kampung halaman dan menjalankan kehidupan dengan lebih baik.





Tuesday, April 15, 2014

Pintu yang Ditutup

http://www.deviantart.com/art/The-Door-22955027
Hampir satu bulan Sahabat Insan tidak berkunjung ke Eboni. Eboni merupakan nama salah satu ruangan rumah sakit di Jakarta yang merawat mantan-mantan TKI yang mengalami depresi. Maka, ketika suatu hari seorang perawat menghubungi Sahabat Insan menanyakan kabar dan mengatakan bahwa persediaan sabun, shampo di sana telah habis, kami pun kembali berkunjung ke Eboni pada Jumat 11 April yang lalu.

Sahabat Insan membawakan sabun, shampo, odol, dan deterjen untuk mereka. Perawat yang sebelumnya menanyakan kabar, tersenyum membukakan pintu yang digembok. Kami memberikan belanjaan kami itu kepadanya, kemudian dia berterima kasih atas sumbangan yang diberikan. Melihat kami datang di depan pintu, beberapa dari mereka yang mengenal kami menyambut dengan sukacita. Kami sempat menanyakan keadaan pasien-pasien tersebut kepada suster. Jumlah pasien di sana 21 orang. Banyak pasien-pasien baru, namun beberapa dari mereka yang masih belum bisa pulang telah berbulan-bulan di Eboni.

Kami berbaur dengan mereka setelah menyapa mereka satu per satu. Mereka bercerita tentang pengalaman mereka bekerja di luar negeri. Bahkan ada seorang mantan TKI yang sempat bekerja di Malaysia menangis tersedu menceritakan keluarga di kampung halaman kepada Suster Rosina. Berulang kali dia mengatakan bahwa luka di hatinya masih menganga dan sulit disembuhkan. Dengan penuh kasih, Suster Rosina mendengarkan dan memberikan penguatan.

Seorang perempuan muda berinisial J mengungkapkan keinginannya untuk segera pulang. Dia merasa tak betah di Eboni karena tidak ada kegiatan berarti. Dia ingin bekerja. Tak banyak orang yang menurutnya bisa diajak bicara. Dia merasa sungguh sehat, tidak depresi, atau bahkan gila. J berasal dari Kupang. Dia adalah anak ke-4 dari 10 bersaudara. J bekerja di Malaysia menjadi penjaga sebuah toko selama 5 bulan. Namun, karena dokumen yang dimilikinya palsu, maka ia ditangkap dan dideportasi. Sesampainya di bandara dia dibawa ke Eboni oleh petugas.

Sahabat Insan berusaha menghiburnya. Kami meminta J untuk bersabar dan berusaha berbaur dengan teman-temannya. Kami katakan, dia dapat melakukan kegiatan seperti menonton televisi, mengepel atau menyapu ruangan, atau kalau ada majalah dia juga bisa membaca. Dengan wajah tak terlalu bersemangat J menanggapi saran-saran dari kami.

Tak lama kemudian, seorang Ibu yang tampak sungguh-sungguh depresi menghampiri kami. Kata-katanya tak jelas, maka kami tak terlalu memahami apa yang dia sampaikan. Dia kadang bernyanyi dan banyak bertanya pada Suster Murph. Dia terlihat gembira berkenalan dengan Suster Murph. Dia juga berusaha menggunakan bahasa Inggris untuk berbicara dengan SusterMuprh. Suster Murph menanggapinya dengan begitu sabar dan tentu saja, penuh tawa.

Tak berapa lama seorang perawat, yang asing bagi kami, keluar dari ruangannya. Dengan wajah tak ramah, perawat itu meminta Ibu yang sedang asyik bercakap dengan Suster Murph untuk makan. Ibu itu menurut, satu dua suap dia makan, kemudian dia letakkan lagi makanannya. Kelakuannya ternyata dilihat oleh perawat tadi yang telah masuk. Perawat itu membuka pintu dan memarahinya dari depan pintu, dengan lantang dia menyuruh ibu tadi untuk memakan makanannya. Ibu itu pun menjawab bahwa makanannya tidak enak dan dia tidak mau memakannya. Bahkan Ibu itu sempat bergurau, dia juga katakan bahwa kami mengatakan tidak apa-apa kalau dia tidak makan. Kami menyanggah kata-katanya dan tertawa karena tingkahnya. Lucu karena si perawat begitu marah, sementara si ibu dengan santai dan cengengesan bagai seorang anak-anak menjawabnya. Yang mengejutkan kemudian sang perawat membanting pintu ruangannya dan kami mendengar suara pintu dikunci dari dalam.

Perlakuan tidak menyenangkan perawat tersebut juga diakui oleh J. J mengatakan kepada kami bahwa perawat-perawat di sana sulit diajak bicara. Sulit yang dimaksud J adalah mereka tidak mau bergaul, berbicara dengan pasien-pasien. Dalam kondisi pemulihan di Eboni serta waktu tak menentu kapan mereka bisa pulang, tentu saja mereka butuh perhatian lebih dan suasana menggembirakan. Ditambah lagi mereka tak boleh keluar dari Eboni seperti berada dalam penjara. Melihat dan mendengar pintu ditutup begitu keras oleh perawat tersebut, bisa jadi berada di Eboni tak lantas membuat mereka pulih.

Ketidakjelasan nasib-nasib mereka tak hanya ketika mereka bekerja, tapi juga sampai di tanah air. Bahkan seorang mantan TKI yang telah berbulan-bulan berada di sana, Wati yang sudah diperbolehkan pulang, belum juga bisa pulang karena dia tidak ingat alamat tempat tinggalnya. Sementara itu, BNP2TKI yang bertanggung jawab terhadapnya ber-rencana untuk membawanya ke panti sosial. Perawat yang menyambut kami dengan baik tadi, mengeluhkannya kepada kami karena khawatir pada nasib Wati.

Pasien lain bernama Tuti berbeda dari yang lainnya. Tuti baru 2 atau 3 hari berada di Eboni. Dia memang tampak mengalami depresi yang parah. Tubuhnya kurus, kulitnya kecokelatan, dan dia kadang tertawa dan berbicara sendiri. Suster katakan bahwa serangkaian pemeriksaan menunjukkan dia dalam keadaan sehat, namun tubuhnya terlihat tak wajar, dokter sampai bingung dibuatnya. Ketika datang malam hari dan suster memeriksa koper yang dibawanya, perawat mendapatkan beberapa minuman bersoda dan beralkohol. Maka, dokter khawatir kalau Tuti menderita suatu sakit yang menular sehingga, akan membahayakan pasien-pasien lain di sana.

Kami gembira ketika hendak pulang ada seseorang laki-laki yang menjemput salah seorang pasien, sebut saja Ida. Ternyata lelaki itu adalah suaminya dan hari itu memang Ida telah diizinkan pulang oleh rumah sakit. Dengan wajah gembira keduanya membereskan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pulang. Namun, ternyata, masih ada kendala. Segala dokumen milik Ida masih ada di BNP2TKI. Mereka harus mengambilnya sendiri ke sana. Berbekal alamat di secarik kertas, dia tanyakan kepada kami kendaraan apa supaya mereka bisa sampai ke BNP2TKI. Kami menjelaskan setahu kami, sembari menyarankan kepadanya, untuk mengambil dokumen di hari Senin saja. Mengingat hari itu adalah hari Jumat dan waktu telah menunjukkan pukul 13.00. Kami khawatir sesampainya mereka di kantor, kantor itu telah tutup. Dengan wajah bingung suami Ida pun bertanya kepada para perawat apa yang sebaiknya dilakukan. Kami tak tahu keputusan Ida dan suami selanjutnya dan apakah mereka punya sanak saudara di Jakarta. Sebab, mereka butuh waktu lumayan lama untuk pulang ke rumah mereka di Karawang.

Selalu banyak kisah dari mereka ketika kami berkunjung, seperti tak pernah ada habisnya. Dan setiap kami ke sana selalu terselip doa bagi mereka yang menderita. Meskipun satu pintu ditutup, selalu ada banyak pintu dari kami yang terbuka untuk mereka.



Tuesday, April 8, 2014

Menemani Para Difabel bersama Jesuit Service Cambodia

oleh Benny Juliawan SJ


Apakah Anda pernah mendengar istilah “Khmer Merah”? Kalau pernah, pasti Anda tahu Kamboja, negara seluas hampir satu setengah kali pulau Jawa dan diapit oleh Thailand, Vietnam dan Laos. Khmer Merah (Khmer Rouge) adalah sebutan bagi rezim pemerintahan yang berkuasa di Kamboja pada periode 1975-1979. Di bawah pimpinan Pol Pot, rezim ini terkenal karena kekejamannya membunuh lebih dari 2 juta orang dalam rangka menegakkan masyarakat tanpa kelas versi mereka. Setelah mereka tumbang, Kamboja masih dilanda perang saudara hingga awal 1990-an. Tak heran, ratusan ribu warga Kamboja lari ke Thailand untuk mengungsi.

Di kamp pengungsi inilah para Jesuit dan teman-teman yang bergabung dalam Jesuit Refugee Service (JRS) sejak tahun 1980 berjumpa dan melayani orang-orang Kamboja. Setelah perang usai dan para pengungsi mulai kembali berbondong-bondong ke negerinya pada awal 1990-an, JRS memutuskan untuk menemani dan membantu mereka untuk memulai hidup yang baru di Kamboja. Salah satu kelompok yang paling rentan di antara mereka adalah para penyintas atau orang-orang yang lolos dari maut peperangan tetapi menderita disabilitas fisik.

Perang saudara di Kamboja meninggalkan warisan berupa empat hingga enam juta ranjau darat yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Ketika perang berakhir, amunisi berbahaya itu terus menelan korban warga sipil. Para petani yang mencangkul di kebun, anak-anak yang bermain di bawah pohon, para ibu yang ke sungai hendak mencuci, dan orang yang mencari hasil hutan kerap menginjak ranjau yang lalu meledak dan membunuh atau membuat mereka cacat seumur hidup. Diperkirakan ada sekitar 400.000 warga Kamboja yang cacat akibat ranjau ini.

Menanggapi situasi ini, para Jesuit dan teman-teman yang berkarya di Kamboja sepakat mendirikan Jesuit Service Cambodia (JSC) pada tahun 1991 dan memusatkan perhatian pada pelayanan terhadap kaum difabel. Karya JSC hadir di tujuh tempat di Kamboja yaitu di Phnom Penh, Kompong Thom, Siem Reap, Battambang, Banteay Meanchey, Kompong Speu dan Kompong Chnang. Para koordinator di ketujuh tempat ini adalah orang Kamboja asli, dibantu oleh staf dan relawan yang tak jarang berasal dari luar negeri. JSC menjalankan program pendidikan dan program sosial. Program pendidikan membantu pembangunan gedung sekolah, membuka sekolah informal, beasiswa bagi anak-anak keluarga difabel, perpustakaan keliling, dan sejenisnya. Intinya, orang miskin apalagi mereka yang berasal dari keluarga difabel tidak boleh tidak sekolah setidaknya di tingkat dasar.

Program sosial tersebut bertujuan membantu keluarga difabel agar mandiri secara ekonomi dan hidup secara bermartabat. JSC membantu menyediakan kursi roda, pembangunan rumah bagi keluarga difabel, bank beras, bank sapi, pinjaman lunak pertanian dan usaha mikro dan pelayanan kesehatan keliling. Dalam setiap program, JSC berusaha untuk melibatkan para penerima bantuan agar aktif membantu dirinya sendiri. Martabat dan kepercayaan diri seringkali bangkit dari keberanian untuk menunjukkan kemampuan sendiri.

Selain dua program utama ini, masih ada program khusus berupa sekolah kejuruan berasrama bagi siswa-siswi difabel, bengkel produksi kursi roda bernama Mekong Wheelchair, dan bengkel kerajinan kayu dan kain, serta toko yang menjual produk dari bengkel produksi. Selama 20 tahun, lebih dari 15.000 kursi roda telah dihasilkan oleh Mekong Wheelchair. Menariknya, banyak pekerja di bengkel-bengkel ini adalah para difabel lulusan sekolah kejuruan sendiri. Semua ini ada di pinggiran kota Phnom Penh, tepatnya di distrik Ang Snuol, di kompleks bekas barak militer yang diganti nama menjadi Banteay Prieb atau Rumah Merpati Perdamaian. Tahun 2011 yang lalu, JSC membuka Café Perdamaian di tengah kota Phnom Penh untuk menyebarluaskan semangat perdamaian di negara yang tercabik-cabik perang saudara ini sekaligus memasarkan produk hasil karya para difabel.

Setelah lebih dari 20 tahun, JSC sekarang menghadapi tantangan yang baru. Beberapa tahun terakhir ini jumlah korban ranjau darat menurun drastis sebagai hasil dari kerja keras kampanye anti ranjau darat dan program pembersihan ranjau di seantero Kamboja. Tentu ini berita menggembirakan. Semakin sedikit pula siswa difabel yang masuk ke sekolah kejuruan di Banteay Prieb. Romo Greg Priyadi, Jesuit asal Indonesia yang menjadi direktur JSC, bersama Romo Indon Oh, pemimpin Misi Kamboja asal Korea, berencana untuk mengadakan re-orientasi karya dalam tahun-tahun mendatang. Semangat dasarnya sama yaitu menemani mereka yang paling menderita tanpa membeda-bedakan agama dan asal-usul demi mewujudkan empat keutamaan paling pokok dalam masyarakat Kamboja yaitu metta (kebaikan penuh cinta), karuna (bela rasa), mudita (kegembiraan) dan upekkha (keteguhan).

Kursi roda produksi Mekong Wheelchair

Murid sekolah kejuruan Teknik Elektro


Mendengar cerita anak-anak penerima beasiswa


Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner

Monday, April 7, 2014

Mengunjungi TKW Korban Penyekapan dan Kekerasan Majikan Bogor dan Medan di RPTC

Setelah bertahun-tahun diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh majikan, kini mereka bukan hanya dapat menghirup udara bebas atau makan minum kenyang. Mereka mendapatkan kembali tawa yang telah lama tak menghiasi wajah mereka dan merasakan hangatnya sinar mentari.

Setelah misa bersama Rm. Benny Juliawan, SJ 6 April 2014

Dengan penuh sukacita mereka mengikuti Misa Minggu, 6 April 2014 yang dipimpin oleh Romo Benny Juliawan di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Misa tersebut sekaligus menjadi perayaan syukur bagi mereka, karena rencananya pada tanggal 11 April, mereka akan pulang ke rumah mereka masing-masing di NTT.

Pada Jumat, 28 Maret dan 4 April yang lalu, Sahabat Insan berkesempatan mengunjungi mereka. Pada Jumat, 4 April Sahabat Insan berkesempatan mendampingi mereka berlatih membuat makanan berbahan dasar buah pisang. Mereka diajarkan cara membuat keripik pisang dan pisang goreng. 

Ketika Sahabat Insan datang minggu sebelumnya, Jumat, 28 Maret, mereka yang berjumlah sekitar 20 orang tersebut telah dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diajarkan keterampilan untuk membuat mangkok dari kertas koran, sedangkan kelompok kedua berlatih cara untuk meng-creambath. Seorang anak perempuan yang kami hampiri tampak sangat muda. Dia terlihat senang ketika kepalanya dipijat-pijat oleh temannya. Pengalaman meng-creambath atau sebaliknya, di-creambath, tentu sangat menghibur dan berguna bagi mereka.


Ketika kami sempat mengobrol singkat dengan salah seorang petugas di RPTC mengenai anak perempuan itu, sebut saja Nur, kami terkejut karena ternyata Nur masih berusia 12 tahun. Dia terbujuk seorang calo yang menawarinya pekerjaan. Nur dengan polosnya kabur dari rumah untuk bekerja karena terdorong keinginan untuk memiliki handphone. Beruntung Nur dapat selamat dari jerat perdagangan manusia itu. Ketika dia mengetahui Suster Euginia sekampung dengannya yaitu di Pemalang, Nur gembira bukan main. Mereka sempat mengobrol dan foto bersama. Tawa serta manja khas anak-anak pun tampak dari bicara dan gaya Nur.


Ketika pelatihan creambath tersebut sudah selesai, kami ikut berkumpul bersama dengan kelompok yang sedang memelintir kertas koran untuk dijadikan mangkok. Di sebelah kanan dan kiri kami, duduk seorang anak perempuan yang usianya tak jauh berbeda dari Nur. Kami berbaur bersama mereka dan ikut serta memelintir kertas seperti yang dilakukan Elis, yang duduk di sebelah kanan kami. Sembari bekerja, kami mengajak Elis mengobrol. Tak lama setelah kami bertanya hal-hal sederhana, Ria, yang duduk di sebelah kiri kami ikut serta bercerita panjang lebar penderitaan mereka selama bekerja di Medan.

Benar ternyata apa yang kami kira, Elis dan Ria sama seperti Nur, masih berusia anak. Mereka baru seminggu berada di RPTC. Keduanya berasal dari NTT. Elis baru bekerja 3 tahun, sementara Ria sudah bekerja 4 tahun. Mereka dan beberapa teman lain yang juga berada di RPTC, sebelumnya bekerja di Medan. Majikan mereka memiliki pabrik sarang burung walet. Mereka bekerja bukan hanya di pabrik, melainkan juga sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikan.

Elis menggambarkan tempat tinggal mereka dengan rinci. Terdapat beberapa rumah di sana, dan rumah-rumah tersebut didiami oleh majikan beserta saudara-saudaranya. Di antaranya ada rumah yang khusus dijadikan pabrik sebagai tempat memproduksi sarang burung walet. Majikannya yang perempuan adalah orang Malaysia. Kata Elis, hasil berupa obat-obatan yang diproduksi akan diambil dan dipasarkan ke luar negeri.

Ketika Elis menceritakan tempat tinggal mereka, bayangan saya pertama kali adalah penjara. Elis bilang kalau majikan menutup semua jendela dengan koran sehingga mereka tidak bisa sama sekali melihat cahaya matahari. Mereka tak boleh keluar rumah, kecuali kalau majikan meminta mereka ikut pergi untuk berbelanja. Orang yang terpilih itu pun dipertimbangkan sungguh rupanya, tidak boleh yang terlihat kurus, lesu, tak elok. Dan siapa pun yang terpilih bukan berarti dapat menikmati jalan-jalan seperti berlibur, dia akan diperintahkan majikan untuk membawa semua barang belanjaan. Kalau majikan makan, mereka tidak diajak serta. Mereka dibiarkan menunggu di luar restoran, hanya melihat saja. Dan Elis bilang, itu juga majikan lakukan di pabrik. Ketika mereka sedang bekerja, majikan malah makan di depan mata mereka sembari menggoda mereka.

Majikan memperlakukan mereka bak binatang. Mereka dipaksa majikan meminum pil yang menghentikan mereka haid, sehingga mereka dapat terus bekerja tanpa henti. Tapi, Ria dengan berani selalu menolak meminum pil itu dan dia seringkali dimaki karenanya. Kata Elis, ”Kami tak dianggap seperti manusia. Mereka (majikan) memanggil kami dengan nama-nama binatang, seperti anjing. Kami juga dimarahi kalau ketahuan sedang berdoa.” Majikan mengatakan bahwa percuma saja mereka berdoa karena tidak didengar Tuhan. Elis mengaku dia tetap berdoa sekalipun majikannya melarang. Itu artinya, selama 3 bulan, mereka sama sekali tidak boleh keluar rumah untuk pergi beribadah.

Majikan mereka juga seringkali menghina mereka dengan mengatakan mereka berasal dari kampung terpencil, yang tak ada shampo, sabun, atau makanan-makanan enak. Maka, mereka tak boleh membeli sabun atau shampo dengan harga yang mahal. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasi dengan ikan asin yang kadang sudah busuk dan ada ulatnya. Makanan tersebut bahkan ditaruh di dalam plastik. Sekalipun di Medan banyak makanan-makanan yang enak, makan bakso pun mereka tak pernah selama bekerja.

Perlakuan kasar dari majikan juga mereka dapatkan. Ada kawan mereka yang dilempar kepalanya sampai luka dengan mangkok. Dan yang sangat menyedihkan, dua kawan mereka telah meninggal, akibat perlakuan majikan yang demikian dan tidak segera mendapat pertolongan medis. Mereka juga diawasi sangat ketat. Saat masuk atau keluar dari pabrik, sekujur tubuh mereka akan diperiksa inci demi inci, guna mencegah ada barang yang mereka curi. Bahkan ke toilet pun mereka ditemani oleh penjaga.

Elis bercerita dengan suara kecil, sedikit demi sedikit cerita-ceritanya keluar begitu saja tanpa kami tanya atau paksa. Kami hanya berusaha mendengarkan dan sesekali berkomentar tak percaya perlakuan majikan seperti itu terhadap mereka. Mereka dijanjikan gaji 750 ribu per bulan. Namun, sampai sekarang mereka belum menerima gaji itu sepeser pun.



Mereka beruntung akhirnya polisi menemukan mereka dan menangkap majikan mereka. Sayangnya, majikan yang perempuan berhasil melarikan diri. Keluar dari rumah majikan mereka sempat dirawat di rumah sakit dan berada di Yayasan Perlindungan Anak (YPA). Baru kemudian, mereka dibawa ke RPTC. Di RPTC, mereka berusaha membangun memori baru yang lebih menyenangkan dan penuh tawa, sembari mengikis luka-luka di masa lalu.

Selain mereka yang bekerja di Medan, kami juga berjumpa dengan para pekerja rumah tangga yang disekap, disiksa, diperlakukan tidak manusiawi oleh istri majikan seorang Jenderal di Bogor. Berita ini sempat heboh beberapa waktu lalu. Kisah mereka yang diperlakukan semena-mena oleh istri Jenderal itu, juga memilukan hati. Selain mereka, juga ada beberapa mantan TKI yang dideportasi dari Malaysia.

Hari itu, Suster Lia membawakan mereka baju-baju baru. Mereka gembira sekali, meskipun baju-baju itu kebesaran. Sementara kami membawakan kue-kue untuk mereka. Satu per satu kue kami bagikan untuk mereka, sisanya kami minta mereka simpan untuk dibagi kepada kawan mereka yang lain. Senyum tersungging di wajah Elis. Dia mengucap terima kasih, sama seperti kawan-kawannya yang lain, tapi juga terselip kata-kata, ”Baru di sini kami bisa makan enak.”

Di RPTC, hari demi hari mereka merajut harapan. Harapan ditegakkannya keadilan, hukuman setimpal untuk majikan mereka. Harapan kembali ke kampung halaman, berjumpa dengan keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Harapan untuk mendapatkan gaji yang bertahun-tahun tak dibayar. Harapan akan masa depan yang lebih baik.


Mari kita mendoakan mereka, semoga harapan-harapan mereka berbuah manis di kemudian hari.




Terkait dengan berita penyekapan TKW di Bogor dan di Medan ini dapat dibaca di tautan berikut ini: